MAKALAH BAHASA INDONESIA : Analisis Psikologi Karya Sastra dalam Cerpen “Perempuan Sinting Di Dapur Karya Urugad Prasad”


Makalah
Analisis Psikologi Karya Sastra dalam Cerpen
“Perempuan Sinting Di Dapur Karya Urugad Prasad”
Mata Kuliah : Psikologi Sastra
Dosen Pembimbing : M. Bayu Firmansyah, M.Pd



Kelompok 2B :
Ruminah ( 15188201067 )
Alisa Qotrunnada ( 15188201068 )
Emi Wahyu Livita ( 15188201084 )
Sulistiani Azizah ( 15188201086 )

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
PGRI Pasuruan



KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT yang mana atas berkat dan pertolongan-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Terimakasih juga saya ucapkan kepada dosen pembimbing M. Bayu Firmansyah, M.Pd. yang turut membimbing kami sehingga bisa menyelesaikan makalah ini sesuai waktu yang telah di tentukan. Terimakasih juga kepada teman-teman yang turut andil dalam terselesainya makalah ini.
Sholawat serta salam senantiasa saya haturkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW yang selalu kita harapkan syafa’atnya di hari kiamat nanti.
Makalah ini kami buat dalam rangka untuk memperdalam pengetahuan dan pemahaman mengenai Psikologi karya sastra. Makalah ini juga dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi karya sastra.
Dengan segala keterbatasan yang ada penulis telah berusaha dengan segala daya dan upaya guna menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwasanya makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk menyempurnakan makalah ini. Atas kritik dan sarannya kami ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya.
Pasuruan, Desember 2017
Penyusun




DAFTAR ISI
Kata pengantar .............................................................................................................. i
Daftar isi ........................................................................................................................ ii
Bab I Pendahuluan ........................................................................................................ 1
1.1. Latar belakang............................................................................................ 1
1.2. Rumusan masalah...................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penulisan........................................................................................ 2
Bab II Pembahasan......................................................................................................... 3
2.1. Sinopsis Cerpen Perempuan Sinting Di Dapur............................................ 3
2.2. Tokoh Dan Penokohan................................................................................. 3
2.3. Hubungan Tokoh Dan Penokohan Dalam Psikologi Sastra......................... 7
Bab III Penutup.............................................................................................................. 14
3.1. Kesimpulan.................................................................................................. 14
Daftar Pustaka ………………………………………………………………………… 15
Lampiran




BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Di Indonesia analisis psikologi sastra pada umumnya lebih lambat perkembangannya dibandingkan dengan sosiologi sastra. Beberapa indikator penyebabnya antaralain (1) psikologi sastra seolah-olah hanya berkaitan dengan manusia sebagai individu. Kurang memberikan pengaruh sehingga analisis dianggap sempit. (2) dikaitkan dengan tradisi intelektual teori psikologi sangat terbatas. Sehingga para sarjana sastra kurang memiliki pemahaman terhadap bidang psikologi sastra ( Ratna. 2010: 341).
Terkait dengan hal diatas karya sastra itu sendiri sebenarnya mengandung aspek-aspek kejiwaan yang kaya. Yang perlu dikembangkan secara lebih serius. Untuk itu seorang calon sarjana bahkan seorang sarjana harus mengerti tata cara yang harus dilakukan dalam memahami hubungannya sastra dengan psikologi. Dalam tulisan ini kami akan mengupas tentang hal tersebut dalam makalah yang berjudul “ Analisis Psikologi Karya Sastra pada Cerpen Perempuan Sinting Didapur”.
Sesuai dengan hakikatnya pada dasarnya karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya. Misalnya masyarakat dapat memahami perubahan kontradiksi. Dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi dalam masyarakat. Khususnya dalam kaitannya dengan kejiwaan (Ratna.2010: 342). Kaitannya dengan hal tersebut analisis tokoh-tokoh inilah yang menjadi konsentrasi dalam analisis psikologi sastra.
Dalam memahami aspek kejiwaan dalam sastra sebenarnya dapat dilakukan melalui cara berikut (1) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis. (2) memahami unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksi dalam karya sastra. (3) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca (Ratna. 2010: 343). Dalam makalah ini, kami hanya mengupas point (2) sebagai fokus pembahasan, hal ini mengingat kedalam analisis apabila semua unsur dikupas. Disamping itu juga mengingat keterbatasan referensi dan pengalaman kami.

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana sinopsis cerpen Perempuan Sinting di Dapur karya Urugan Prasad ?
1.2.2 Siapakah tokoh dan bagaimana penokohan cerpen Perempuan Sinting di Dapur?
1.2.3 Bagaimana hubungan antara tokoh dan penokohan dalam psikologi sastra dalam cerpen Perempuan Sinting di Dapur?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mendeskripsikan sinopsis cerpen perempuan sinting di dapur kayra urugan Prasad.
1.3.2 Untuk mendeskripsikan tokoh dan penokohan dalam cerpen perempuan sinting di dapur.
1.3.3 Untuk mendeskripkan hubungan antara tokoh dan penokohan dalam psikologi sastra dalam cerpen Perempuan Sinting di Dapur.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sinopsis Cerpen Perempuan Sinting Di Dapur

Wak Haji Mail seorang tokoh terpandang di kampungnya yang saat itu sedang sakaratul maut, mengakibatkan rumahnya berdesakan dengan empat belas orang anaknya dan cucu-cucunya yang mengantri pembagian harta waris yang tak kan pernah adil. Wak misnah istri pertama dari Wak Haji Mail yang selalu setia di sisi Wak Haji Mail marah dan menenangkan keadaan. Wak Haji Mail menginginkan agar tahlilan kematiannya di masakkan oleh Mak Saodah, seseorang yang dicintainya dimana suami Mak Saodah ini difitnah oleh Wak Haji Mail hingga mati tanpa harga diri.Cinta yang bertepuk sebelah tangan itu sama dengan tokoh aku yang mencintai Aminah anak dari Mak Saodah walaupun tokoh aku sudah beristri.
Ketika Wak Haji Mail sudah tiada, subuh hari Mak Saodah melaksanakan pesan terakhir dari Wak Haji Mail, yaitu memasakkan orang yang akan bertahlilan. Sudah bukan hal aneh lagi jika sedang memasak tak ada satu orang pun yang boleh membantu, seperti juga pada saat itu ketika Aminah ingin membantunya. Diam-diam Aminah dan tokoh aku mengintip kegiatan memasak mak saodah. Betapa terkejutnya mereka ketika tahu apa yang dilakukan Mak Saodah di dapur. Mak Saodah berkali-kali meludahi panci dan jugaa mengencingi panci berisi masakan itu.

2.2 Tokoh Dan Penokohan

2.2.1 Tokoh

Tokoh dalam cerpen Perempuan Sinting di Dapur karya Ugoran Prasad :
1) Aku : Protagonis
2) Wak Haji Mail : Antagonis
3) Wak Misnah : Tritagonis
4) Mak Saodah : Antagonis
5) Aminah : Tritagonis

2.2.2 Penokohan

1) Tokoh “Aku” dalam cerpen ini merupakan seorang lelaki yang penurut dan masih memendam cinta pada Aminah (putri sulung Mak Saodah) yang masih terikat persaudaraan padahal dia sudah beristri. Seperti dalam kutipan berikut:
”Kau dengar?” tanya bibiku setengah membentak. Aku diam sebentar. Di depanku, Wak Haji terbaring seperti sepotong kayu. Lamat-lamat, di antara nafasnya yang berat, bisa kudengar suaranya, rendah dan kesakitan. Ke arah Wak Misnah, aku mengangguk.
”Panggilkan dia.” Suara bibiku agak goyah, mengejutkanku. Apa yang dicemaskannya?
Tokoh aku sangat mencintai Aminah terlihat dalam kutipan berikut.
Kupaksakan menatap matanya, berusaha keras tak menyerah pada kecantikannya. Dulu, aku gagal, lalu menundukkan kepala, melangkah pulang dengan gontai, menikahi sepupu yang sudah lama dijodohkan untukku supaya lupa, tapi malah mendapati, sepanjang akad nikah, wajahnya menghantuiku. Kini aku bersumpah, dalam hati, tak lagi.
2) Tokoh Wak Haji Mail merupakan pria tua terpandang di kampungnya yang memiliki 14 anak dari tiga istrinya. Diceritakan dalam cerpen ini Wak Haji Mail sedang menjelang ajalnya. Wak haji mail juga mengamalkan ilmu golok dalam perkara sedekah. Bagi Wak Misnah, Haji Mail adalah sosok suami yang kikir, sedangkan menurut tokoh Aku berbanding terbalik dengan pernyataan Wak Misnah. Haji Mail memfitnah ayah Aminah suami Mak Saodah. Terlihat dalam kutipan-kutipan berikut.
Dua minggu setelah rumah sakit menyerah dan mengembalikannya ke rumah, Wak Haji Mail belum juga dijemput Izrail. Keempat belas anak dari tiga pernikahannya semakin sulit meredam cemas, silih berganti berjaga di luar kamar, siap untuk memberontak dari pembagian harta waris yang tak adil. Tak mungkin adil.
Sekalipun Wak Haji Mail mengamalkan ilmu golok dalam perkara sedekah, semua orang kampung tahu kalau Mak Saodah seperti selalu menyimpan obat kikir di sayur dan lauk masakannya. Tak cukup mendirikan kakus dengan tangki septik, Wak Haji Mail mengirim orang untuk membangun lapak setengah permanen, menyemen lantai bagian depan rumah Mak Saodah, memasangkan listrik, dan menyekolahkan kelima anak Mak Saodah sampai SMA. Terakhir ia menghibahkan kulkas bekas istri keduanya supaya Mak Saodah bisa bikin sendiri es batu dan es lilin.
Wak Misnah rajin memperbaiki kekacauanku. Ia menyampaikan ulang ceritaku di telinga si kikir dengan lantang, sebagaimana yang selalu dilakukannya 10 tahun terakhir.
Haji Mail berdosa pada Mak Saodah. Suaminya, ayah Aminah, difitnah murtad, syirik, musyrik, kafir, diasingkan orang sekampung seperti penderita kusta, dibiarkan mati tanpa harga diri.
3) Tokoh Wak Misnah bibi dari tokoh aku juga istri pertama Wak Haji Mail yang suka membentak atau tempramen. Tetapi dia sabar karena meskipun suaminya (Wak Haji Mail) poligami. Dia juga benci pada Mak Saodah karena selain pada dua istrinya yang lain, Haji Mail juga cinta pada Mak Saodah. Terlihat di kutipan-kutipan berikut.
Wak Misnah naik pitam. Empat belas anak, beserta cucu-cucu, tentulah membuat keadaan bisa cepat berubah menjadi pasar malam. Itulah saatnya Wak Misnah, istri pertama Haji Mail, mengusir semua orang dan memanggilku masuk.
”Apa kata si Saodah?” tanyanya, setengah membentak. Pertanyaan ini tak sedikit pun terasa janggal di mulutnya, padahal setengah jam yang lalu jawabannya sudah ia terima.
4) Tokoh Mak Saodah perempuan yang dicintai Wak Haji Mail berbadan tinggi besar, dan jalannya agak gontai. Dia pandai memasak sehingga orang-orang kampung mengenali masakannya, tetapi dia juga sosok yang galak, keras, dan misterius terutama masalah resep masakannya sehingga orang-orang kampung menjulukinya Nenek Sihir Hutan Larangan karena bila malam tiba dia suka menggerai rambutnya yang panjang dan membuat sosoknya semakin mengerikan. Dia sedih ketika tokoh Aku meminta Mak Saodah untuk datang karena Haji Mail sedang meregang nyawa. Ketika memasak dia meludahi masakan yang disiapkan untuk orang kampung yang menghadiri tahlilan Wak Haji Mail. Seperti kutipan-kutipan berikut ini:
Wak Haji Mail mengamalkan ilmu golok dalam perkara sedekah, semua orang kampung tahu kalau Mak Saodah seperti selalu menyimpan obat kikir di sayur dan lauk masakannya. Tak cukup mendirikan kakus dengan tangki septik, Wak Haji Mail mengirim orang untuk membangun lapak setengah permanen, menyemen lantai bagian depan rumah Mak Saodah, memasangkan listrik, dan menyekolahkan kelima anak Mak Saodah sampai SMA. Terakhir ia menghibahkan kulkas bekas istri keduanya supaya Mak Saodah bisa bikin sendiri es batu dan es lilin.
Mak Saodah tak mau datang karena tak bisa menerima orang yang begitu berjasa dalam hidupnya sedang menjelang ajal. Ia tak mau terlihat begitu sedih. Tak mau menambah parah kesedihan yang ditanggung keluarga Haji Mail.
Semua orang tahu betapa keras Mak Saodah. Keras menghadapi pelanggannya, keras menjaga rahasia dapurnya. Bertahun-tahun membuka warung makan di kampung itu, tak membuatnya pandai beramah tamah. Para pelanggan memanggilnya Mak Galak, tetap kembali ke warungnya semata-mata karena kelezatan masakannya sulit disaingi. Aku mengenalnya hampir seumur hidupku dan tak pernah sekali pun kulihat ia tersenyum. Tidak juga kepada Haji Mail atau orang-orang terpandang di kampung ini. Bocah-bocah kampung kami menjulukinya Nenek Sihir Hutan Larangan karena bila malam datang ia selalu menggerai rambutnya yang panjang dan membuat sosoknya semakin mengerikan.
…Dengan sebelah mata bisa kulihat, Mak Saodah sedang bekerja, memotong-motong bahan masakan, menyiapkan tungku, memasukkan bumbu-bumbu ke dalam panci. Butuh beberapa detik untukku menemukan apa yang ganjil dari semua ini. Mak Saodah terus-menerus meludahi bahan-bahan masakan yang sedang dikerjakannya
Mak Saodah sedang mengangkat kainnya tinggi-tinggi, melewati lutut, lalu berdiri setengah jongkok mengangkangi salah satu panci yang isinya mulai mendidih. Raut wajahnya, gabungan yang ganjil antara mengejan dan kebencian, mengerikan. Sedetik kemudian, dari tempatnya berdiri, kudengar suara desing yang akrab dan gemericik air jatuh ke panci. Mak Saodah meludah lagi ke panci, sekali.Desing dan gemericik itu belum selesai ketika mata Mak Saodah menusuk tajam, menatapku.
5) Tokoh Aminah putri sulung dari Mak Saodah. Dia cantik, dan merupakan gadis idaman tokoh “Aku”. Aminah adalah sosok anak yang penurut, Aminah juga yang memberitahu “Aku” bahwa Mak Saodah melakukan hal ganjil ketika memasak. Terdapat pada kutipan :
Di depanku Mak Saodah masih tak bergerak. Matanya mulai berkaca-kaca dan sempat kukira ia terharu. Aminah, putri sulungnya
Semenjak tiba dari luar negeri, minggu lalu, baru kali ini kulihat dia. Aminah semakin cantik.
Aku duduk diam dan berusaha memecahkan kebingunganku. Lama. Sepuluh menit kemudian, Aminah sepertinya mulai kasihan pada wajahku yang merot-perot karena tak paham. Ia memanggilku mendekat. Aku datang dengan sigap, tapi ia cepat menempelkan jari telunjuk di mulutnya, matanya membeliak nakal mengancam. Aku memperhalus langkahku, mendekatinya tanpa suara. Ia membungkuk di dekat tirai dapur, aku mengikutinya. Sesaat kuingat, kami berdua sebagai bocah berumur delapan tahun, 20 tahun yang lalu, berjingkat mengintip Mak Saodah. Dulu, jauh sebelum mencapai tirai dapur Mak Saodah sudah membentak kami. Kini suara bentakan itu tak kunjung datang. Aku menunduk di belakang Aminah. Kami sangat dekat, aku bisa melihat tengkuk di bawah gelung rambutnya, mencium wangi tubuhnya, rambutnya. Lehernya, siap menenggelamkanku. Aku agak mabuk, tak percaya. Sesaat bahkan kegirangan meluap-luap dan jantungku berdebar. Jari-jari Aminah yang cantik menyibak tirai dapur.

2.3 Hubungan Tokoh Dan Penokohan Dalam Psikologi Sastra

2.3.1 Relasi Antar Tokoh
Pada cerita ini berpusat pada tokoh utama si Aku, Aminah, Wak Haji Mail, Wak Misnah, dan Mak Saodah. Tokoh Aku disini sebagai benang merah penyampai pesan terakhir dari Wak Haji Mail untuk Mak Saodah. Dalam cerpen ini, meskipun Aku digambarkan seoalah – olah ‘berdiri sendiri’ atau tidak ada kesangkut-pautannya langsung dengan hubungan Wak Haji Mail dan Mak Saodah. Namun berdasarkan narasi – narasi yang disampaikan itulah pembaca tahu potongan – potongan cerita keduanya, sehingga sosok Aku dianggap paling tahu mengenai cerita dibalik hubungan Wak Haji Mail dan Mak Saodah. Juga pada cerpen ini diceritakan hubungan sang tokoh utama dengan Aminah yang tidak berjalan lancar atau bertepuk sebelah tangan. Sama halnya dengan hubungan Wak Haji Mail dan Mak Saodah, namun dengan gaya penceritaaan yang berbeda. Seperti halnya dalam narasi berikut yang diceritakan oleh Aku.
“Di jalan, kukarang-karang sendiri ihwal sepotong cinta tak sampai Wak Haji Mail pada Mak Saodah. Persis seperti cintaku pada Aminah.”
Aku yang merupakan keponakan dari Wak Haji Mail dan Wak Misnah, terlihat pada dialog sebagai berikut.
“ Jangan pula kau kira kau lebih pandai dari bibimu ini. Mati kuracun kau nanti.”
Wak Haji Mail sudah tiga kali menikah dan memiliki empat belas orang anak dari semua pernikahannya. Namun dia masih memiliki perasaan khusus pada Mak Saodah, karena keadaan, dia tidak bisa lebih dari sekedar menyimpan perasaan. Seperti pada narasi berikut, sesuai pikiran terpendam si Aku.
“Keempat belas anak dari tiga pernikahannya semakin sulit meredam cemas, silih berganti berjaga di luar kamar, siap untuk memberontak dari pembagian harta waris yang tak adil. Tak mungkin adil.”
Relasi yang paling terlihat pada saat Wak Haji Mail dengan Mak Saodah, adalah ketika Wak Haji Mail berusaha mencurahkan perhatiannya dan kebaikannya pada Mak Saodah, pada saat itulah muncul interaksi antar tokoh yang terdapat dalam narasi berikut ini.
“Tak cukup mendirikan kakus dengan tangki septic, Wak Haji Mail mengirim orang untuk membangun lapak setengah permanen, menyemen lantai bagian depan rumah Mak Saodah, memasangkan listrik, dan menyekolahkan kelima anak Mak Saodah sampai SMA. Terakhir ia menghibahkan kulkas bekas istri keduanya supaya Mak Saodah bisa bikin sendiri es batu dan es lilin.”
Sedangkan Aminah adalah cinta pertama Aku yang tidak pernah terbalas, nafsunya timbul manakala dia berada didekat wanita pujaannya itu. Oleh karena itu, dia lebih sering menundukkan muka, agar tidak ketahuan oleh Aminah.
“Kupaksakan menatap matanya, berusaha keras tak menyerah pada kecantikannya. Dulu, aku gagal, lalu menundukkan kepala, melangkah pulang dengan gontai, menikahi sepupu yang sudah lama dijodohkan untukku supaya lupa, tetapi malah mendapati, sepanjang akad nikah, wajahnya menghantuiku.”
Sedangkan pada relasinya Aminah adalah anak dari Mak Saodah, hal ini diperkuat dengan dialog.
“ Mak enggak mau. Sebaiknya kamu pulang, “ kata Aminah pelan, sungguh – sungguh.
3.2.2 Klasifikasi Emosi
Dalam hal ini yang menarik adalah mengorek lebih dalam sisi psikologis dari bagaimana hubungan Wak Haji Mail dengan Mak Saodah sendiri, kondisi kejiwaan Wak Haji Mail, latar belakang yang mendasari hingga dia memfitnah suami Mak Saodah, dalam narasinya terlihat Wak Haji Mail memiliki perasaan cinta pada Mak Saodah, namun mereka berdua tidak menikah (padahal dalam hukum agama Islam pria maksimal diperbolehkan memiliki istri empat orang, sedangkan Wak Haji Mail ‘baru’ memiliki tiga orang isteri). Hal tersebut yang perlu dikaji dalam psikologi analisis. Klasifikasi emosi adalah kegembiraan, kemarahan, ketakutan, dan kesedihan kerap kali dianggap sebagai emosi yang paling mendasar (primary emotions). Kebencian, perasaan benci (hate) berhubungan erat dengan perasaan marah, cemburu, iri hati. Ciri khas yang menandai perasaan benci ialah timbulnya nafsu atau keinginan untuk menghancurkan objek yang menjadi sasaran kebencian. Perasaan benci selalu melekat dalam diri seseorang, dan ia tidak akan pernah merasa puas sebelum menghancurkannya; bila objek tersebut hancur ia akan merasa puas (Krech, 1974; 479).
”Di antara perasaan cekat dan gelengan kepalaku sempat terpikir untuk mengutarakan rahasia yang diceritakan Aminah kepadaku. Rahasia yang sesungguhnya tak terang karena hanya berupa garis – garis besar. Haji Mail berdosa kepada Mak Saodah. Suaminya, ayah Aminah, difitnah murtad, syirik, musyrik, kafir, diasingkan orang sekampung seperti penderita kusta, dibiarkan mati tanpa harga diri.”
Dalam narasi di atas dapat terlihat bahwa Kesedihan atau duka cita (grief) Mak Saodah berhubungan dengan kehilangan sesuatu yang penting atau bernilai yaitu Suaminya. Pada cerita ini ada bagian yang hilang atau ganjil, dimana tidak jelaskan perasaan Mak Saodah sendiri terhadap Wak Haji Mail. Sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan bagi pembaca (1. Apakah memang perasaan Wak Haji Mail bertepuk sebelah tangan 2. Apakah Mak Saodah juga memiliki perasaan terhadap Wak Haji Mail mengingat relasi mereka selama ini, namun Mak Saodah kecewa karena suaminya di fitnah. 3. Atau mereka pernah menikah siri).
Hanya diceritakan tentang intensitas kesedihan yang tergantung pada nilai, biasanya kesedihan yang teramat sangat bila kehilangan orang yang dicintai. Kesedihan yang mendalam bisa juga karena milik yang sangat berharga yang mengakibatkan kekecewaan atau penyesalan. Parkes (1965) menemukan bukti bahwa kesedihan yang berlarut-larut dapat mengakibatkan depresi dan putus asa yang menjurus pada kecemasan, akibatnya bisa menimbulkan insomnia, tidak memiliki nafsu makan, timbul perasaan jengkel dan menjadi pemarah serta menarik diri dari pergaulan.
Mak Saodah yang merasakan kecemasan ketika mendengar nama Wak Haji Mail, bola matanya berkaca-kaca, rahangnya bergemerotak, bahkan dia harus dipapah bangkit oleh anaknya Aminah kemudian dia meraung – raung di dapur.
“Entah kenapa, ia menunduk. Ia sepertinya berpikir sebentar sebelum kemudian memutuskan untuk memapah maknya bangkit, lalu menuntunnya ke belakang, ke dapur. Sesaat kemudian, dari dapur itu, kudengar suara meraung. Suara Mak Saodah.”
Dalam Agresi dan Apatis, perasaan marah terkait erat dengan ketegangan dan kegelisahan yang dapat menjurus pada pengerusakan dan penyerangan. Agresi langsung adalah agresi yang diungkapkan secara langsung kepada seseorang atau objek yang merupakan sumber frustasi.
“Pikiranku belum terurai baik ketika Aminah keluar. Matanya merah dan sembab. Aku yakin ia turut menangis. Ia duduk dihadapanku, tetapi sempat menoleh ketika mendengar teriakan dari arah dapur. Teriakan ini disusul bunyi piring pecah terbanting. Atau dibanting. “
Sedangkan konsep rasa bersalah, bisa disebabkan oleh adanya konflik antara ekspresi impuls dan standar moral (impuls expression versus moral standards). Perasaan bersalah kerap kali ringan dan cepat berlalu, tetapi dapat pula bertahan lama. Pada cerita ini, Wak Haji Mail memendam rasa bersalahnya, hingga dia akan menghembuskan nafas terakhir. Seperti yang terdapat pada paragraf utama.
“Dinanti – nanti matinya, Wak Haji Mail malah mulai mengigau. Semula tak seorang pun menangkap apa yang dikatakannya. Kupikir bukan tak bisa. Tak mau, lebih tepatnya. Aku sendiri begitu diizinkan mendengar langsung segera mencerna, bukan kata, melainkan sepotong nama. Gumam ini berulang di antara tarikan nafasnya yang payah. Saodah.”
Perasaan bersalah yang paling mengganggu adalah sebagaimana terdapat dalam sikap menghukum diri sendiri, si individu terlihat sebagai sumberdari sikap bersalah. Rasa bersalah tipe ini memiliki implikasi berkembangnya gangguan kepribadian, penyakit mental dan psikoterapi. Karena perasaan bersalah yang terpendam, dan permintaannya untuk bertemu Mak saodah tidak terkabul (Wak Haji Mail tahu Mak Saodah tidak akan pernah memaafkannya, karena itulah dia mati dengan pasrah sebagai sikap menghukum diri sendiri) dalam sisa – sisa waktunya Wak Haji Mail meminta permohonan terakhirnya pada sang istri dan si Aku.
“Lima belas menit kemudian, sesudah menitipkan sepotong pesan yang hanya bisa di dengar istrinya, Haji Mail dan sepenggal ingatannya pergi. Aku melihatnya merengang napas yang terakhir, satu embusan napas pelan seperti mengempas hidup yang melelahkan. Bulu kudukku naik.”
Derajat yang lebih rendah dari perasaan bersalah dapat dihapuskan karena individu mengingkarinya dan ia merasa benar. Dalam kasus rasa bersalah, seseorang cenderung merasa bersalah dengan cara memendam dalam dirinya sendiri, memang ia biasanya bersikap baik, tetapi ia seseorang yang buruk. Seperti perkataan istri almarhum Wak Haji Mail, yaitu Wak Misnah pada Aku ponakannya.
“Jika hendak kau pahami semuanya, ingat – ingat saja tindak tanduk uwakmu, Haji Ismail almarhum.” Kedua, bahwa tempat gila manusia sudah lama terpisah-pisah. Laki-laki sinting di jalan, perempuan di dapur.”

3.2.3 Kecemasan Tokoh Dan Mekanisme Pertahanan

Kecemasan adalah hasil dari konflik bawah sadar merupakan akibat dari konflik antara pulsi Id (Umumnya seksual dan agresif) dan pertahanan dari ego dan superego. Kebanyakan dari pulsi tersebut mengancam individu yang disebabkan oleh pertentangan nilai-nilai personal atau berseberangan dengan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Sosok pemilik rumah makan yang ramah – tamah , penuh senyum, akrab dengan pengunjung, jauh berbeda dengan Mak Saodah yang dianggap bertentangan dengan nilai masyarakat.
“Bertahun-tahun membuka warung makan di kampung itu, tak membuatnya pandai beramah-tamah. Para pelanggan memanggilnya Mak Galak, tetap kembali ke warungnya semata-mata karena kelezatan masakannya sulit disaingi. Aku mengenalnya hampir seumur hidupku dan tak pernah sekali pun kulihat ia tersenyum.”
Sublimasai terjadi bila tindakan-tindakan yang bermanfaat secara sosial menggantikan perasaan tidak nyaman. Sublimasi sesungguhnya suatu bentuk pengalihan. Dalam hal ini, aktivitas memasak di dapur adalah bentuk pengalihan rasa kemarahan Mak Saodah, dan agar diterima secara sosial, digunakanlah cara berdagang. Seperti pada narasi berikut.
Berdehem-dehem tak pantas, kuputuskan untuk membuka percakapan. “ Kudengar kau suruh makmu berhenti dagang Minah?”
Aminah menatapku, tampak senang dengan pertanyaanku, lalu mengangguk.”Ya, tetapi Mak enggak mau.”
“Kenapa?”
“Mak bilang, berdagang itu alasannya hidup.”
“Berdagang?”
Bukan, Bukan berdagangnya. Memasak untuk orang kampung. Ya itu yang menyelamatkannya,”. Sorot matanya sempat nyalang ketika dia bergumam, “Itu menyelamatkanku.”
Dalam teori kepribadian, mekanisme pertahanan merupakan karakteristik yang cenderung kuat dalam diri setiap orang. Kegagalan mekanisme pertahanan memenuhi fungsi pertahanannya bisa berakibat pada kelainan mental. Kualitas kelainan mental tersebut dapat mencerminkan mekanisme pertahanan karakteristik. Kelainan mental atas apa yang dialami Mak Saodah diperkuat dengan narasi dibawah ini, ditambah perasan dikecewakan lingkungan sosialnya, kehilangan suami yang dicintai, harus menjadi seorang ibu yang membesarkan kelima anaknya sendirian. Maka reaksi mekanisme pertahanannya terhadap lingkungannya sebagai berikut.
“Mak Saodah penuh kekuatan. Sampai di dapur, sempat ia sibakkan tirai, menutupi pintu. Bayangannya tampak besar di tirai itu.”
Bekerja seorang diri untuk memenuhi permintaan almarhum Wak Haji, Mak Saodah harus bergegas menyiapkan masakan untuk ratusan orang yang akan bertahlil malam nanti.“
“Dengan sebelah mata bisa kulihat, Mak saodah sedang bekerja, memotong – motong bahan masakan, menyiapkan tungku, memasukkan bumbu-bumbu ke dalam panci, butuh beberapa detik untukku menemukan apa yang ganjil dari semua ini. Mak Saodah terus-menerus meludahi bahan-bahan masakan yang sedang dikerjakannya.”
“Mak Saodah sedang mengangkat kainnya tinggi – tinggi, melewati lutut, lalu berdiri setengah jongkok mengangkangi salah satu panci yang isinya mulai mendidih. Raut wajahnya, gabungan yang ganjil antara mengejan dan kebencian, mengerikan. Sedetik kemudian, dari tempatnya berdiri, kudengar suara desing yang akrab dan gemericik air jatuh ke panci.”
Sedangkan kelanjutan hubungan antara Aku dan Aminah tidak dijelaskan di akhir cerita, hanya dalam kondisi kedua orang itu tegang saat sedang mengintip Mak Saodah di dekat tirai dapur, perasaannya pada Aminah tidak bisa dibohongi bahwa dia masih sempat berfantasi. Dalam psikologi sastra, saat kita menghadapi masalah yang demikian bertumpuk, kadang kala kita mencari ‘solusi’ dengan masuk ke dunia khayal, solusi yang berdasarkan fantasi ketimbang realitas. Berikut ini adalah narasi fantasi dari Aku.
“Aku menunduk di belakang Aminah. Kami sangat dekat, aku bisa melihat tengkuk di bawah gelung rambutnya, mencium wangi tubuhnya, rambutnya. Lehernya, siap menenggelamkanku. Aku agak mabuk tak percaya. Sesaat bahkan kegirangan meluap-luap dan jantungku berdebar. Jari – jari Aminah yang cantik menyibak tirai dapur.”


BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan

Pada analisis psikologi sastra cerpen Perempuan Sinting di Dapur karya Ugoran Prasad ini membahas teori – teori psikologi Sigmund Freud dalam masing – masing tokoh cerita ini, terutama hubungan Wak Haji Ismail dan Mak Saodah. Juga tokoh Aku dengan Minah, tokoh Aku disini sebagai penyampai amanat terakhir Wak Haji pada Mak Saodah. Namun, ada adegan yang terasa ganjil dan saling berkontradiksi. Di salah satu adegan, dimana Mak Saodah diceritakan meraung ketika si Aku menyampaikan amanat Wak Haji Ismail. Tetapi di adegan lain Mak Saodah disebutkan mendengar permintaan almarhum dengan tenang lalu kemudian berjalan ke dapur. Keganjilan tampak pada logika cerita yang disampaikan. Meskipun menyimpan dendam dalam hatinya, Mak Saodah terbukti tetap menerima semua bantuan Wak Haji Mail selama bertahun – tahun. Yang berarti hubungan mereka cukup baik sepanjang yang dilihat orang. Ganjil rasanya sikap dramatis Mak Saodah ketika diminta memasak untuk tahlilan lelaki tersebut, bahkan untuk menjenguk Wak Haji Mail pun Mak Saodah tidak mau. Hal itulah yang menarik untuk dikaji lebih lanjut dalam analisis ini.


DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: Media Presindo.
Kompas, Cerpen. (2008). [On Line] http://cerpenkompas.wordpress.com/2008/11/02/perempuan-sinting-di-dapur/. Diakses tanggal 18 Nopember 2011
Minderop, Albertine. 2010. Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori, dam Contoh Kasus. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Pambudy, Ninuk Mardiana. 2009. SMOKOL: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Wiyatmi. 2011. Psikologi Sastra Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Kanwa Publisher.
LAMPIRAN:

Perempuan Sinting di Dapur
Karya: Urugad Prasad

Dinanti-nanti matinya, Wak Haji Mail malah mulai mengigau. Semula tak seorang pun menangkap apa yang dikatakannya. Kupikir bukan tak bisa. Tak mau, lebih tepatnya. Aku sendiri, begitu diizinkan mendengar langsung segera mencerna, bukan kata, melainkan sepotong nama. Gumam ini berulang di antara tarikan nafasnya yang payah. Saodah.
Dua minggu setelah rumah sakit menyerah dan mengembalikannya ke rumah, Wak Haji Mail belum juga dijemput Izrail. Keempat belas anak dari tiga pernikahannya semakin sulit meredam cemas, silih berganti berjaga di luar kamar, siap untuk memberontak dari pembagian harta waris yang tak adil. Tak mungkin adil.
Lepas maghrib tadi Haji Mail membuka mata dan mulutnya kembali bersuara. Satu jam kemudian semua orang terus berebutan masuk sehingga Wak Misnah naik pitam. Empat belas anak, beserta cucu-cucu, tentulah membuat keadaan bisa cepat berubah menjadi pasar malam. Itulah saatnya Wak Misnah, istri pertama Haji Mail, mengusir semua orang dan memanggilku masuk.
”Kau dengar?” tanya bibiku setengah membentak. Aku diam sebentar. Di depanku, Wak Haji terbaring seperti sepotong kayu. Lamat-lamat, di antara nafasnya yang berat, bisa kudengar suaranya, rendah dan kesakitan. Ke arah Wak Misnah, aku mengangguk.
”Panggilkan dia.” Suara bibiku agak goyah, mengejutkanku. Apa yang dicemaskannya?
Di jalan, kukarang-karang sendiri ihwal sepotong cinta tak sampai Wak Haji Mail pada Mak Saodah. Persis seperti cintaku pada Aminah.
Beberapa menit usai kuajukan permintaan keluarga kami, Mak Saodah tetap bergeming. Sebelumnya, kubayangkan ia akan bergegas, merapikan dirinya dan sebentar kemudian duduk di boncengan motorku. Sekalipun Wak Haji Mail mengamalkan ilmu golok dalam perkara sedekah, semua orang kampung tahu kalau Mak Saodah seperti selalu menyimpan obat kikir di sayur dan lauk masakannya. Tak cukup mendirikan kakus dengan tangki septik, Wak Haji Mail mengirim orang untuk membangun lapak setengah permanen, menyemen lantai bagian depan rumah Mak Saodah, memasangkan listrik, dan menyekolahkan kelima anak Mak Saodah sampai SMA. Terakhir ia menghibahkan kulkas bekas istri keduanya supaya Mak Saodah bisa bikin sendiri es batu dan es lilin.
Di depanku Mak Saodah masih tak bergerak. Matanya mulai berkaca-kaca dan sempat kukira ia terharu. Aminah, putri sulungnya, mendekat. Sejak tadi ia membisu di pojokan, mendengarkan. Kini ia meraba-raba punggung maknya, menenangkan. Kulihat sesaat, sepertinya rahang Mak Saodah bergemeretak. Aku tak yakin.
Aminah menatapku tajam-tajam. Aku mulai gelisah. Tatapannya selalu membuatku merasa telah melakukan kesalahan. Sejak dulu. Mungkin karena pikiran kotor mudah terbaca. Semenjak tiba dari luar negeri, minggu lalu, baru kali ini kulihat dia. Aminah semakin cantik.
”Mak nggak mau. Sebaiknya kamu pulang,” kata Aminah pelan, sungguh-sungguh.
Kalimat ini menusuk ulu hatiku. Perutku mulas. Ia pernah mengatakan kalimat serupa ini padaku. Kata-katanya, susunannya, lagunya, hampir sama. Satu-satunya perbedaan, dulu ia ajukan kalimat ini bukan atas nama maknya, melainkan dirinya sendiri.
Kupaksakan menatap matanya, berusaha keras tak menyerah pada kecantikannya. Dulu, aku gagal, lalu menundukkan kepala, melangkah pulang dengan gontai, menikahi sepupu yang sudah lama dijodohkan untukku supaya lupa, tapi malah mendapati, sepanjang akad nikah, wajahnya menghantuiku. Kini aku bersumpah, dalam hati, tak lagi.
Kubulatkan tekadku. Kali ini, aku tak akan pulang dengan tangan kosong. Sekurang-kurangnya, aku harus mendapatkan alasan. Aminah tersenyum, agak aneh. Sepertinya ia merendahkanku. Ya, ia merendahkanku. Apakah dulu juga ia merendahkanku?
”Alasan, Minah. Sekurang-kurangnya ada alasannya.” Kalimat ini, aku tak yakin sedang kuajukan untuk perkara yang mana.
Entah kenapa, ia menunduk. Ia sepertinya berpikir sebentar sebelum kemudian memutuskan untuk memapah maknya bangkit, lalu menuntunnya ke belakang, ke dapur. Sesaat kemudian, dari dapur itu, kudengar suara meraung. Suara Mak Saodah.
Kukarang-karang penjelasan di dalam kepalaku. Mak Saodah tak mau datang karena tak bisa menerima orang yang begitu berjasa dalam hidupnya sedang menjelang ajal. Ia tak mau terlihat begitu sedih. Tak mau menambah parah kesedihan yang ditanggung keluarga Haji Mail.
Ini pikiran yang aneh, sebenarnya. Semua orang tahu betapa keras Mak Saodah. Keras menghadapi pelanggannya, keras menjaga rahasia dapurnya. Bertahun-tahun membuka warung makan di kampung itu, tak membuatnya pandai beramah tamah. Para pelanggan memanggilnya Mak Galak, tetap kembali ke warungnya semata-mata karena kelezatan masakannya sulit disaingi. Aku mengenalnya hampir seumur hidupku dan tak pernah sekali pun kulihat ia tersenyum. Tidak juga kepada Haji Mail atau orang-orang terpandang di kampung ini. Bocah-bocah kampung kami menjulukinya Nenek Sihir Hutan Larangan karena bila malam datang ia selalu menggerai rambutnya yang panjang dan membuat sosoknya semakin mengerikan.
Pikiranku belum terurai baik ketika Aminah keluar. Matanya merah dan sembab. Aku yakin ia turut menangis. Ia duduk di hadapanku, tapi sempat menoleh ketika mendengar teriakan dari arah dapur. Teriakan ini disusul bunyi piring pecah terbanting. Atau dibanting.
Aminah kembali memandangku, tapi kali ini tenang, setenang suaranya memenuhi permintaanku. Sepotong alasan, sepenggal cerita. Aku masih akan tak paham bahkan jauh sesudah ia menyelesaikan cerita ini. Entah karena ceritanya begitu sulit dan mengerikan atau karena sepanjang bercerita, ditingkahi bebunyi piring pecah terbanting, suaranya tetap setenang kolam.
Ketika aku dipanggil masuk, Wak Misnah sedang duduk di sisi kiri kepala Haji Mail. Itu sisi kuping Haji Mail yang masih mau bekerja. Aku duduk, tapi gagal mengatasi cemas.
Haji Mail bergumam panjang, kepayahan. Wak Misnah mendekatkan telinganya ke mulut Haji Mail. Tak yakin, Wak Misnah bertanya di telinga si kikir. Ia kembali bergumam tak terang, tapi Wak Misnah sepertinya paham. Bibiku itu berdehem dan mengangguk-angguk.
”Apa kata si Saodah?” tanyanya, setengah membentak. Pertanyaan ini tak sedikit pun terasa janggal di mulutnya, padahal setengah jam yang lalu jawabannya sudah ia terima.
Sekalipun sudah kuceritakan sebelumnya, aku tahu ceritaku akan kembali terbata-bata. Bahkan lebih buruk. Begitu panik, kalimatku jadi berantakan dan tak urut, seperti bocah belajar bicara. Untung, Wak Misnah rajin memperbaiki kekacauanku. Ia menyampaikan ulang ceritaku di telinga si kikir dengan lantang, sebagaimana yang selalu dilakukannya 10 tahun terakhir.
”Ada lagi?” sentak bibiku.
Aku tercekat sebentar sebelum menggeleng. Di antara perasaan cekat dan gelengan kepalaku sempat terpikir untuk mengutarakan rahasia yang diceritakan Aminah padaku. Rahasia yang sesungguhnya tak terang karena hanya berupa garis-garis besar. Haji Mail berdosa pada Mak Saodah. Suaminya, ayah Aminah, difitnah murtad, syirik, musyrik, kafir, diasingkan orang sekampung seperti penderita kusta, dibiarkan mati tanpa harga diri.
Kuurungkan pikiran ini ketika kudengar Haji Mail mengerang. Erangnya panjang, kesakitan dan menyakitkan. Aku yakin pilihanku tepat. Tak perlu kuceritakan, Haji Mail ingat.
Lima belas menit kemudian, sesudah menitipkan sepotong pesan yang hanya bisa didengar istrinya, Haji Mail dan sepenggal ingatannya pergi. Aku melihatnya meregang nafas yang terakhir, satu hembusan nafas pelan seperti menghempas hidup yang melelahkan. Bulu kudukku naik. Aku baru saja sekamar dengan Izrail. Wak Misnah masih berusaha memastikan perintah terakhir suaminya, bertanya dengan lantang di telinga yang baru saja ditinggalkan pemiliknya.
Pagi buta, sehabis subuh, aku kembali ke rumah Mak Saodah dengan perasaan tercampur-campur. Menghadapi Mak Saodah membuatku takut, tapi pulang tanpa usaha dan menghadapi Wak Misnah juga sama mengerikannya. Terbata-bata kupaksakan diriku menyampaikan permintaan terakhir Haji Mail.
Mak Saodah mendengarkan permintaan ini dengan tenang. Tak bisa kuceritakan perasaan legaku ketika kulihat ia mengangguk. Ia bangkit dari duduknya dan tak kutemukan perempuan tua yang perlu dipapah untuk berjalan ke dapur, tadi malam. Mak Saodah penuh kekuatan. Sampai di dapur, sempat ia sibakkan tirai, menutupi pintu. Bayangannya tampak besar di tirai itu.
Aminah masih tinggal bersamaku. Tampaknya Mak Saodah belum mengizinkan Aminah menginjakkan kaki di dapurnya. Bekerja seorang diri untuk memenuhi permintaan almarhum Wak Haji, Mak Saodah harus bergegas menyiapkan masakan untuk ratusan orang yang akan bertahlil malam nanti.
Gelas teh di depanku masih setengah penuh sehingga kuputuskan duduk lebih lama. Lagi pula aku tak tahu mau ke mana. Pemakaman baru akan dilakukan sesudah matahari terbit, kembali ke rumah bibiku cuma akan mengotori pikiran ketimbang membersihkannya. Keempat belas sepupuku sudah lepas kendali, pertengkaran tak mungkin ditunda lagi.
Suasana hati Aminah, entah bagaimana terasa sedikit cerah. Terpikir untuk bertanya apa benar ia bekerja sebagai juru masak di luar negeri dan benarkah, sebagaimana yang dikatakan orang-orang, bahwa ia tak ingin kembali tinggal di kampung ini.
Berdehem-dehem tak pantas, kuputuskan untuk membuka percakapan. ”Kudengar kau suruh Makmu berhenti dagang, Minah?”
Aminah menatapku, tampak senang dengan pertanyaanku, lalu mengangguk. ”Ya, tapi Mak nggak mau.”
”Kenapa?”
Senyum Aminah hilang, tapi matanya masih bulat bening. Ia tampak berpikir sebentar sebelum kemudian berkata, ”Mak bilang, berdagang itu alasannya hidup.”
”Berdagang?”
Aminah tampak memikirkan jawabannya lagi. Sebentar kemudian ia menemukan kata yang lebih tepat. Beberapa kata. ”Bukan, bukan berdagangnya. Memasak untuk orang kampung. Ya, itu yang menyelamatkannya,” kalimat Aminah terputus sebentar. Sorot matanya sempat nyalang ketika dia bergumam, ”itu menyelamatkanku.”
Pernyataan ini, membingungkan. Seluruh kampung ini, jika benar cerita Aminah kemarin, bukankah neraka bagi Mak Saodah?
Aku duduk diam dan berusaha memecahkan kebingunganku. Lama. Sepuluh menit kemudian, Aminah sepertinya mulai kasihan pada wajahku yang merot-perot karena tak paham. Ia memanggilku mendekat. Aku datang dengan sigap, tapi ia cepat menempelkan jari telunjuk di mulutnya, matanya membeliak nakal mengancam. Aku memperhalus langkahku, mendekatinya tanpa suara. Ia membungkuk di dekat tirai dapur, aku mengikutinya. Sesaat kuingat, kami berdua sebagai bocah berumur delapan tahun, 20 tahun yang lalu, berjingkat mengintip Mak Saodah. Dulu, jauh sebelum mencapai tirai dapur Mak Saodah sudah membentak kami. Kini suara bentakan itu tak kunjung datang. Aku menunduk di belakang Aminah. Kami sangat dekat, aku bisa melihat tengkuk di bawah gelung rambutnya, mencium wangi tubuhnya, rambutnya. Lehernya, siap menenggelamkanku. Aku agak mabuk, tak percaya. Sesaat bahkan kegirangan meluap-luap dan jantungku berdebar. Jari-jari Aminah yang cantik menyibak tirai dapur.
Dengan sebelah mata bisa kulihat, Mak Saodah sedang bekerja, memotong-motong bahan masakan, menyiapkan tungku, memasukkan bumbu-bumbu ke dalam panci. Butuh beberapa detik untukku menemukan apa yang ganjil dari semua ini. Mak Saodah terus-menerus meludahi bahan-bahan masakan yang sedang dikerjakannya. Aku sempat tak awas karena Aminah menoleh ke arahku, ia sepertinya merasakan nafasku terlalu dekat, hangat di pipinya. Aku terkejut. Pada saat itulah aku berbisik, kelepasan bertanya. Pertanyaan yang lama kupendam dan kukira sudah tak akan kuajukan lagi.
”Minah, kenapa dulu kau menolak lamaranku?”

Aku tak ingat apakah Aminah sempat menjawab, sebab dari dalam dapur maknya membuatku terperangah.

Mak Saodah sedang mengangkat kainnya tinggi-tinggi, melewati lutut, lalu berdiri setengah jongkok mengangkangi salah satu panci yang isinya mulai mendidih. Raut wajahnya, gabungan yang ganjil antara mengejan dan kebencian, mengerikan. Sedetik kemudian, dari tempatnya berdiri, kudengar suara desing yang akrab dan gemericik air jatuh ke panci. Mak Saodah meludah lagi ke panci, sekali.
Desing dan gemericik itu belum selesai ketika mata Mak Saodah menusuk tajam, menatapku.
Sesudah tahlilan bubar, aku duduk di samping Wak Misnah. Sambil membantunya membagikan besek makanan, aku dipaksanya mendengar petuah lama. Petuah ini tak masuk akal dikatakannya saat ini, tapi tampaknya bibiku sedang ingin mengoceh tak karuan agar pikirannya tak dipusingkan persoalan. Dua anaknya baru saja mau saling bunuh, sore tadi.
Sungguhpun hapal luar kepala, kudapati bahwa tak pernah dua ajaran ini kupahami seperti sekarang. Pertama, bahwa ada 42 jenis gila manusia. ”Jika hendak kau pahami semuanya, ingat-ingat saja tindak-tanduk uwakmu, Haji Ismail almarhum.” Kedua, bahwa tempat gila manusia sudah lama terpisah-pisah. Laki-laki sinting di jalan, perempuan di dapur. ”Itulah kenapa kalian tak pernah paham. Jangan pula kau kira kau lebih pandai dari bibimu ini. Mati kuracun kau nanti.”
Hidup diracun, menurutku, lebih ngeri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini