MAKALAH BAHASA INDONESIA : PSIKOLOGI PEMBACA DAN KAJIAN DALAM CERPEN “DIBELAKANGKU” KARYA EMHA AINUN NADJIB
MAKALAH
PSIKOLOGI PEMBACA DAN KAJIAN DALAM CERPEN “DIBELAKANGKU”
KARYA EMHA AINUN NADJIB
Mata Kuliah : Psikologi Sastra
DOSEN PEMBIMBING:
BAYU FIRMANSYAH, M.Pd
OLEH
KELOMPOK
3
1. Aun Helin dalin 15188201095
2. Ika Maya Sagita 1518820109
3. Ismawati 151882010
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
Jl. Ki Hajar Dewantara 27 – 29
PASURUAN
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, atas rahmat dan
karunia-Nya, Tugas makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dengan judul
“Psikologi Pembaca dan kajian dalam CERPEN DIBELAKANGKU karya Emha Ainun
Nadjib ”. Dengan membuat tugas makalah ini kami berharap, kita semua mampu
Memahami Psikologi pembaca dalam psikologi sastra.
Dalam penulisan ini terdapat hambatan yang dialami penulis. Namun penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah dari berbagai bimbingan serta bantuan
dari beberapa pihak. untuk itu penulis mengucapkan terimah kasih kepada :
1. Bapak BAYU FIRMANSYAH, M.Pd selaku Dosen yang mengajar materi Psikologi
sastra
2. Kedua Orang tua yang telah memberi motivasi.
3. Serta Teman-teman STKIP – STIT PASURUAN yang telah membantu kita.
Karena keterbatasan kemampuan dalam menulis tugas makalah masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu dengan kerendahan hati semua kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Harapannya semoga
tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.
Pasuruan, 15 Desember 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER
...........................................................................................................................
..........
I
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………………..I
I
KATA PENGANTAR
………………………………………………………………….......III
DAFTAR ISI
…………………………………………………………………..……………
I
V
BAB I PENDAHULUA
N
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………........I
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………………..II
1.3 Maksud dan tujuan ……………………………………………………………….. III
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Psikologi Pembaca………………………………………………………
2.2 Ruang lingkup Psikologi Pembaca…………………………………………………
2.3 Kajian Psikologi pembaca dalam cerpen dibelakangku karya emha ainun
nadjib……
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
...........................................................................................
…………….I
3.2 Saran
.....................................................................................................
…………....II
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan
peranan studi psikologis. Artinya, psikologi turut berperan penting dalam
penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya
sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan
dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis
konflik batin yang terkandung dalam karya sastra. Jadi, secara umum dapat
disimpulkan bahwa hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga
melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut dengan “Psikologi Sastra”.
Psikologi pengarang merupakan salah satu wilayah psikologi sastra yang
membahas aspek kejiwaan pengarang sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang
pribadi. Dalam kajian ini yang menjadi fokus kajian adalah aspek kejiwaan
pengarang yang memiliki hubungan dengan proses lahirnya karya sastra. Di
dalam makalah ini akan dikaji secara terperinci tentang pengaplikasian
teori psikologi pengarang terhadap karya sastra.
Secara teori, terdapat hubungan antara karya dengan psikologi pengarang.
Bagaimana keaadaan emosional seorang penulis akan berpengaruh terhadap
karya-karya yang dihasilkan. Keadaan yang bahagia tentunya dapat
mengispirasi berbagai karya yang dihasilkan. Begitu pula sebaliknya. Setiap
penulis memiliki doktrin dan kepercayaan sendiri-sendiri, maka seorang
penulis yang idialisme akan memunculkan sastra dengan terkadung nilai
doktrin yang kuat. Ketiga, melalui jenjang pendidikan. Karena pendidikan
bertujuan mencetak karakter maka penulis banyak menemukan karya sastra yang
mengangkat masalah-masalah pendidikan berangkat dari masalah pendidikan
penulis sendiri.
Berdasarkan uraian diatas, maka kami melakukan analisis psikologi sastra
dalam cerpen yang berjudul “Belakangku” karya Emha Ainun Nadjib untuk
mengetahui kaitan antara psikologi pengarang dengan karya sastra yang
dihasilkan.
1.2
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami angkat dalam penulisan makalah ini, antara
lain:
1. Bagaimana ruang lingkup teori analisis psikologi?
2. Bagaimana ruang lingkup psikologi pembaca?
3. Bagaimana kaitan psikologi pembaca dengan isi atau kritik sastra dalam
kumpulan cerpen “Belakangku” karya Emha Ainun Nadjib ?
1.3
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui ruang lingkup teori analisis psikologi.
2. Untuk megetahui ruang lingkup psikologi pembaca.
3. Untuk mengetahui kaitan psikologi pembaca dengan psikologi tokoh dalam
sekumpulan cerpen “di Belakangku” karya Emha Ainun Nadjib.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1.
Pengertian Psikologi Pembaca
Psikologi pembaca merupakan salah satu jenis kajian psikologi sastra yang
memfokuskan pada pembaca, yang ketika membaca dan menginterpretasikan karya
sastra mengalami berbagai situasi kejiwaan. Yang menjadi objek kajian dalam
psikologi pembaca adalah pembaca yang secara nyata membaca, menghayati, dan
menginterpretasikan karya sastra.
Sebagai manusia yang memiliki aspek kejiwaan, maka ketika membaca,
menghayati, dan menginterpretasikan karya sastra yang dibacanya, pembaca
akan mengadakan interaksi dan dialog dengan karya sastra yang dibacanya.
Karena memiliki jiwa, dengan berbagai rupa emosi dan rasa, maka ketika
membaca sebuah novel atau menonton sebuah pementasan drama, kita sangat
mungkin ikut bersedih, gembira, jengkel, bahkan juga menangis karena
tersentuh oleh pengalaman tokoh-tokoh fiktif.
Seperti dikemukakan oleh Iser (1979) bahwa suatu karya sastra akan
menimbulkan kesan tertentu pada pembaca. Kesan ini didapat melalui hakikat
yang ada pada karya itu yang dibaca oleh pembacanya. Dalam proses pembacaan
ini aka ada interaksi antara hakikat karya itu dengan teks luar yang
mungkin memberikan kaidah yang berbeda. Bahkan dapat dikatakan bahwa kaidah
dan nilai teks luar akan sangat menentukan kesan yang akan muncul pada
seseorang sewaktu membaca sebuah teks, karena fenomena ini akan menentukan
imajinasi pembaca dalam membaca teks itu.
Ketika membaca kutipan puisi Peringatan karya Wiji Thukul berikut ini,
seorang pembaca akan segera mengenal hakikat sebuah puisi yang antara lain
ditandai oleh adanya tipografi dan larik-larik yang khas. Kemudian setelah
membaca isi yang disampaikan dalam puisi itu, pembaca akan menemukan bahwa
puisi tersebut mencoba mengangkat fenomena yang berhubungan dengan sikap
rakyat (Indonesia) yang cenderung apatis terhadap program-program yang
dijalankan pemerintah pada masa yang berhubungan dengan konteks puisi itu,
tahun 1980-an (sesuai dengan titi mangsa puisi itu ditulis), masa Orde
Baru.
PERINGATAN
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
.
kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar
mendengar
.
bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
.
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu
keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
.
Solo, 1986
Karya: Wiji Thukul
.
Setelah membaca puisi tersebut, seorang pembaca yang merasakan situasi
sosial politik Indonesia 1980-an yang carut marut, mungkin akan mendapatkan
kesan dari puisi tersebut bahwa apa yang disampaikan dalam puisi tersebut
merupakan menyuarakan kenyataan yang ada. Selanjutnya, pembaca sangat
mungkin juga akan memberikan sikap yang sama dengan sikap manusia-manusia
imajiner yang digambarkan dalam puisi itu dan sikap sang penyair.
Di samping itu, dalam hubungannya dengan pembaca, ada jenis-jenis karya
sastra tertentu yang dipilih dan disukai oleh suatu kelompok pembaca,
tetapi ditolak atau tidak disukai oleh kelompok pembaca yang lain. Artinya,
kita dapat melihat adanya hubungan antara karya sastra dengan selera
pembaca. Dengan latar belakang usia, perkembangan psikologis, pengalaman,
dan pendidikan tertentu seseorang akan lebih memilih karya sastra dengan
isi dan teknik penyajian (aliran kesastraan) tertentu.
Pembaca remaja, misalnya lebih memilih karya sastra yang bercerita seputar
kehidupan remaja dari pada karya sastra yang menggambarkan renungan
filosofis tentang hakikat kehidupan, misalnya. Demikian pula pembaca yang
lebih dewasa, mungkin sudah tidak akan lagi tertarik pada karya sastra
remaja, tetapi karya sastra yang mengangkat persoalan filosofi kehidupan
atau pun berlatar belakang aspek-aspek sosial budaya kemasyarakatan yang
lebih luas. Novel yang beraliran ghotik (misteri), bertema dunia hantu atau
pun detektif akan memiliki kelompok pembaca yang berbeda dengan novel
sastra yang tertema absurd.
Dengan menggunakan perspektif psikologi sastra, maka dari artikel di atas
kita mendapatkan gambaran bagaimana jenis sastra tertentu (novel dan cerita
pendek), dengan tema tertentu (fenomena seksualitas), dan cara penggambaran
atau teknik penceritaan yang dianggap vulgar telah mendapatkan tanggapan,
sikap, dan kesan, yang berbeda-beda pada pembacanya. Ada komunitas yang
membaca, menikmati, dan membelanya, tetapi ada juga yang menghujatnya. Hal
ini menunjukkan bahwa setiap karya sastra yang ada memiliki komunitas
pembaca sendiri, di samping melahirkan sikap dan tanggapan yang
berbeda-beda dari pembacanya.
2.
2.
Daya Psikis Keras dan Lunak
Agak sulit untuk menemukan istilah yang tepat untuk mewadahi konteks
psikologi sastra yang terkait dengan respirasi pembaca terhadap sastra.
Wilayah psikologi yang berhubungan dengan pembaca memang masih pelik. Ada
yang berpendapat, wilayah ini sebenarnya bukan studi sastra, melainkan
penelitian pembaca. Pendapat ini tampaknya juga sulit di pertanggung
jawabkan, sebab sebagaimanapun pembaca adalah bagian dari kutub sastra.
Resepsi pembaca secara psikologis pasti akan terjadi, dibandingkan resepsi
yang lain. Penerimaan nilai sastra biasanya justru berasal dari aspek
psikologis. Dengan modal kejiwaan, karya sastra akan meresap secara halus
dalam diri pembaca. Oleh sebab itu pembaca yang bagus tentu mampu
meneladani aspek-aspek penting dalam sastra. Nilai-nilai dalam sastra yang
mampu membentuk sikap dan perilaku, akan diinternalisasikan dalam diri
pembaca.
Sastra dalam konteks pembaca akan berpengaruh cepat dan lambat. Pengaruh
cepat merupakan daya keras, spektakuler, dan menantang sehingga pembaca
spontan berubah sikap dan wataknya. Mungkin pula pembaca akan menirukan
gerakan-gerakan, siulan-siulan, dan model-model yang di tawarkan dalam
sastra. Sebaliknya, sastra juga dapat secara lambat menyuarakan daya
tertentu, tetapi tetap pasti. Meskipun daya serap pembaca lunak, lembut,
namun tetap pengaruh sastra semacam ini sering sulit hilang (nabet)
Cukup unik jika sastra telah tersuguh di hadapan pembaca. Konsep Holland
(wright, 1991:149) menyebutkan bahwa ada kemungkinan terjadi “kolusi”
estetis antara pengarang dengan pembaca. Ekspresi yang amat rahasia
biasanya disimpan halus oleh pengarang. Dalam suasana itu, jika terjadi
kolusi, pembaca dapat memprotes apa saja yang tergambar dalam sastra. Yang
menarik disimak lagi adalah kategori pembaca yang sebaliknya, yaitu sekedar
ingin rekreasi jiwa pada waktu membaca sastra. Kalusi dapat terjadi baik
sastra dalam ranah kreatif, maupun tujuan lain.
Untuk memahami bagaimana resepsi psikis dapat terjadi dalam proses
komunikasi sastra, dapat di cermati gagasan Holland menempatkan sastra
sebagai sebuah pengalaman (bukan sebagai bentuk komunikasi, sebagai bentuk
ekspresi, atau sebagai karya seni). Pokok perhatiannya adalah pengalaman
pembaca yang di pengaruhi oleh sastra. Setelah membaca sastra, pembaca akan
terlibat didalamnya. Akibatnya, dapat terjadi jiwa pembaca juga terpengaruh
jiwa sastra. Menurut dia, semua karya sastra mentransformasikan
fantasi-fantasi tak sadar (menurut psikoanalisis) kepada makna-makna
kesadaran yang dapat di temukan dalam interpretasi konvensional. Jadi,
makna psikoanalisis harus dicari karena tingkatan makna lain hanyalah
manifestasi atau sosial. Gagasan ini memang bukan hal baruu, karena
sebelumnya freud telah banyak berkomentar tentang psikoanalisis.
Bagi Holland, sastra memiliki efek relief (pembebasan) sehingga akhir dari
semua analisis seni adalah a comfort (sesuatu kesenangan hidup). Kesenangan
hidup di peroleh melalui ‘pelepasan’. Sekalipun karya sastra membuat
perasaa kita sakit, bersalah, atau cemas, perasaan-perasaan itu (yang
sesungguhnya hanyalah fantasi belaka) kita terima dan kita kuasai
sedemikian rupa untuk menjadi pengalaman yang menyenangkan. Gagasan bahwa
sastra akan menimbulkan kenikmatan, muncul sebagai akibat alternasi ritmik
antara “gangguan” dan “penguasaan”. Orang susah, tetapi puas dan senang
adalah efek ketika mambaca sastra. Orang dapat kecewa psikisnya, tetapi
lega karena membaca sastra. Orang dapat kecewa psikisnya, tetapi lega
karena membaca sastra. Dalam proses psikis semacam ini, berartia ada
gelombang estetis yang merambat dari sasta ke psikis pembaca.
Adapun simon lesser dalam bukunya fiction and the unconscious (1989),
mengembangkan teori emotif melalui model komunikasi yang memungkinkan dia
mendiskripsikan efek-efek relief yang dirasakan pembaca. Untuk keperluan
ini, Lesser memanfaatkan sarana analisis psikoanalisis superego, ego, dan
id. Peta penelitian semacam ini jelas sekali berdampingan dengan gagasan
freud. Freudlah yang menjadi induk proses penelitian psikologi reseptif.
Seperti Holland, Lesser juga beranggapan bahwa sastra memberikan ‘relief’.
Akan tetapi, relief ini hanya memadai bila karya sastra itu memberikan
kepuasan yang berbeda-beda pada suatu kurun waktu yang sama. Konsep
demikian jelas berasal dari freu. Setiap karya yang di baca pada waktu yang
sama, mengkin pengaruh psikologisnya bisa berbeda.
Komponen-komponen kejiwaan itu harus di tempatkan dalam suatu gerakan
(motion). Setiap karya sastra memiliki efek-efek supernego, ego, dan id
yang perlu di refleksikan oleh pembaca. Keterlibatan pembaca kedalam
komponen-komponen kejiwaan itu hanya dapat terpenuhi bila karya sastra
mengandung aspek-aspek yang kontradiktif, ambigu, tumpang-tindih, dan
samar, dengan kata lain irama “konflik” (dalam teks) dan “solusi” (oleh
pembaca). Di dalam proses membaca, pembaca menyusun dan menciptakan cerita
dalam imajinasi yang terstruktur. Cerita itu sendiri bersifat elliptis (ada
sebagiannya yang di hilangkan). Bagian inilah yang harus di hidupkan dengan
pengalaman subjektif masing-masing pembaca, mungkin saja mereka mengikuti
satu konvensi penafsiran yang sama (selden, 1991:127)
Gagasan-gagasan resepsi psikologis diatas menunjukkan betapa pentingnyaa
efek sastra bagi pembaca. Sastra memiliki daya keras dan lunak dalam
kehidupan psikologi pembaca. Sebagai daya keras, sastra akan mampu mengubah
kehidupan pembaca secara langsungdan cepat. Mungkin, pembaca akan merasa
sakit hati,marah, jengkel, dna tiba-tiba jatuh sakit. Mungkin pula pembaca
akan berteriak keras-keras, setelah membaca sastra. Sebagai daya lunak,
sastra akan merambat pelan-pelan ke dataran psikis pembaca. Pengaruh sastra
sedikit demi sedikit, tetapi pasti. Dalam proses ini bukan mustahil jika
pembaca suatu saat akan berubah kiblat hidupnya.
Tugas peneliti psikologi sastra dalam kaitan dengan masalah pengaruh dayas
sastra adalah mengikuti aliran daya itu dalam diri pembaca. Mungkin sastra
mengikuti proses keras, cepat, dan secara tiba-tiba menjadikan pembaca
berubah total atau sebagian. Tiba-tiba pembaca secara drastis harus
mengubah sikap dan wataknya hingga orang di sekitarnya terperanjat.
Selanjutnya, kemungkinan lain perlu dikaji adalah pengaruh yang lembut,
penuh kearifan, tetapi tetap menjadi motif kuat dalam jiwa pembaca.
Kemungkinan psikis yang terakhir ini, bisa jadi akan mengubah pandangan
hidup pembaca.
2.3 Resepsi dan Kebebasan Tafsir Psikologis
Resepsi adalah penerimaan. Penerimaan sastra oleh pembaca bisa berbeda-beda
tafsirannya. Satra ibarat sebuah surat berharga yang dialamatkan kepada
penerima pesan. Namun, dalam sastra ada sejumlah kode-kode psikologis yang
bisa memunculkan persepsi lain. Perbedaan inilah yang menuntut kebebasan
tafsir. Tafsir yang beragam dan prural, akan memperkaya pesan. Tafsir
psikologis akan membangkitkan imajinasi yang berharga. Pembaca bebas
bermain imajinasi. Dari situ pula bebas menciptakan dunianya.
Sastra setelah lepas dari tangan penulis menjadi hak banyak orang, termasuk
pembaca. Aspek psikis penulis, mungkin bisa di terima berbeda oleh pembaca.
Aspek psikis penulis, mungkin bisa di terima berbeda oleh pembaca. Pembaca
sering berimajinasi lain ketika menyikapi karya sastra. Kondisi kejiwaan
pembaca juga sering kali mempengaruhi daya kritisnya. Bacaan sastra yang
sulit, sering berpengaruh pada efek pembaca. Dalam proses resepsi serupa,
saya setuju dengan gagasan Juass (Newton, 1994:148) bahwa karya sastra ada
hanya jika telah diciptakan kembali (dikonkretkan). Istilah “dikonkretkan”
adalah hak pembaca. Pembaca boleh berbuat apa saja, menganalogikan bacaan
dengan dirinya, boleh menangis, boleh marah, dan seterusnya. Proses
konkretisasi itu sebenarnya proses psikologis.
Untuk memahami apa yang dilakukan pembaca ketika menyikapi sastra, justru
menarik diungkap. Peneliti psikologi resepsi akan banyak tertantang ketika
berhadapan dengan pembaca kritis. Namun, pembaca yang sekedar
bersenang-senang pun perlu mendapat perhatian. Siapa tau kedua aset pembaca
itu memiliki relevansi psikologis. Dalam kaitan ini, secara sistemati,
Junus (1985:94-101) telah menguraikan betapa pentingnya resepsi pembaca
secara psikis. Beberapa penelitian resepsi dia paparkan secara kritis,
khususnya untuk membahas tulisan segers. Tokoh ini memang boelh dikatakan
yang banyak membahas efek sastra secara psikologis. Meskipun dalam
pengakuan beberapa ahli sastra, segers cenderung ke arah eksperimentasi
sastra, namun konsepsinya tetap dapat di pertahankan. Dalam kaitan ini,
segers memberikan beberapa contoh penelitian yang memiliki presenti
psikologi sastra yang lebih berhubungan dengan reaksi pribadi. Tetapi
sayang, menurut pembacaan saya, ia tidak dapat memberikan hubungan yang
pasti anatara resepsi sastra dan psikologi sastra. Bahkan, ia membiarkan
saja terjdinya suatu hal yang mungkin “mengganggu”. Kalau penelitian di
Universitas indiana menyimpulkan bahwa perbedaan penilaian berhubungan
dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman (sastra), maka penelitian
Husson (segers, 76) mengatakan sebaliknya. Mestinya, disini segers
mempersoalkannya.
Dalam konteks ini, kita perlu terlibat lebih jauh bagaimana sikap segers
terhadap hanson. Yang paling penting adalah peta psikis dalam dunia resepsi
patut dicermati oleh peneliti sastra. Dalam peta tersebut, segers memang
orang yang gemar pada resepsi dan sekaligus melangkah ke evaluasi teks
sastra. Dalam bukunya tentang evaluasi teks sastra , dia juga diam-diam
membahas psikologi sastra. Segers melihat kemungkinan hubungan antara
resepsi sastra dan psikologi sastra dalam hubungan estetika eksperimenter,
terutama berhubungan dengan penelitian D.E Berlyne. Namun, hal ini di
pandang lain oleh Junus (1985), yang menurutnya itu adalah suatu lapangan
yang diolah oleh psikologi.
Daya kritis Junus demikian sah dan dapat dipahami, namun yang terpenting
bagi penelitian psikologis adalah kemampuan memahami resepsi pembaca.
Teks-teks sastra mungkin sekali hanya sederhana, tetapi memiliki pengaruh
lebih besar. Penulis, boleh juga pengucap, yang bekerja merumuskan sesuatu
kedalam teks memusatkan perhatiannya kepada hal-hal tertentu dengan
melupakan hal-hal lain. Perhatiannya hanya mengenai “ketepatan perumusan”
berdasarkan hal yang datang kepadanya pada suatu masa tertentu. Pada suatu
saat itu, ia melupakan adanya kemungkinan lain. Dalam kaitan ini, Junus
memberikan contoh dalam hubungan bahasa. Seseorang mungkin berhadapan
dengan persoalan bagaimana merumuskan dua kalimat ini menjadi suatu kalimat
: (a) saya percaya kepada Tuhan, (b) Tuhan itu satu.
Berdasarkan proses bahasa melayu yang biasa, maka keduanya dapat dibentuk
menjadi suatu kalimat, yakni saya percaya kepada Tuhan yang satu. Namun,
pembaca yang berhadapan dengan kalimat tersebut mungkin akan beranggapan
bahwa kalimat itu berasal dari proses lain, yang tidak disadari
kehadirannya oleh penulis tadi. Pembaca akan mengalami suatu proses lain,
suatu cognition process. Ia akan menagktifkan pemikirannya berdasarkan
segala kemungkinan bahasa yang dikuasainya. Ia akan menyadari hakikat
polisemi dari konstruksi “Tuhan yang satu”, karena dua arti menyatu dalam
satu homonim.
Contoh yang di berikan diatas merupakan teks yang sama mungkin saja
memiliki perbedaan resepsi, dan bukan tidak mungkin, ketika mengucapkan,
orang tidak “memperhitungkan” kemungkinan berlakunya apa yang dikatakannya.
Karena ia terlampau terikat oleh suatu unsur tertentu. Orang yang pertama
kali mengucapkan pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”
tidak menyadari bahwa orang tidak mungkin kencing selagi berlari. Ia juga
tidak akan menyadari bahwa pepatah itu mempunyai implikasi lain dari yang
di pikirkannya. Ia mungkin berpikir bahwa bila guru kencing duduk, maka
murid juga akan kencing duduk (=mencangkung). Namun, pepatah itu memberikan
implikasi lain. Kalau “guru kencing duduk” maka “murid akan kencing
berdiri”, karena ppepatah itu menyarankan tentang murid yang ‘kurang ajar’,
maka murid akan lebih ‘kurang ajar’ lagi, sedangkan murid akan jadi baik
bila gurunya juga baik. Akan tetapi, bila kita mulai memberikan rasioanl
kita terhadapnya, dengan hanya merasionalkan unsur-unsur yang ada dalam
pepatah itu, bukan tidak mungkin kita sampai kepada kesimpulan yang
bertentangan, hal yang sebenranya tidka terpikirkan oleh penulis/pengucap.
Pembaca memang bebas sebagai penafsir. Namun, menurut Iser (1988:213) yang
paling esensial adalah bukan hanya mampu meneliti teks sastra sebagai
refleksi kesadaran saja, melainkan sampai ketaksadaran. Teks sastra tidak
selalu berhubungan dengan realitas objektif. Dunia sastra, menurut
Ingarden, akan dilukikan secara intensional. kalimat atau baris dalam
sastra selalu bermuatan makna. Gagasan demikian sebenarnya lebih pada
proporsi ingin menyatakan bahwa wacana sastra memang bersifat terbuka bagi
penikmat. Siapa saja boleh berdebat dan menunjukan alibi. Bagi pembaca
sastra yang jitu, tentu akan selektif ppada permainan kata. Setiap pesan
psikologis akan terbungkus rapi dalam bahasa. Perbedaan peresepsi terhadap
wacana sastra, justru memperkaya nilai sastra. Sastra tak pernah tunggal
dalam hal makna. Semakin menyebarkan keragaman makna, sastra itu di pandang
lebih bagus. Inilah tugas reseptor untuk menerka, sampai ke batas psikis
yang tepat.
2.4 Eksperimental Estetik Pembaca Sastra
1. Reaksi Evaluatif Pembaca
Pembaca akan bereaksi setelah besentuhan dengan sastra. Setelah membaca,
psikisnya telah terpenuhi berbagai butir reaksi. Reaksi bisa ke arah
kontruktif dan destruktif. Tegasnya, pada saat reaksi itu dilakukan,
evaluasi teks akan terjadi. Evaluasi subjektif maupun objektif bisa
dilakukan. Semua tergantung daya rangsang psikis dalam teks sastra.
Untuk mempertajam penampilan psikolog resepsi, sekali lagi konsep segers
masih tetap menjadi acuan. Esai-esai tebal dia cukup dijadikan pijakan
penelitian psikolgi resepsi. Dalam buku evaluasi teks sastra, segers
(Sayuti, 20072-82) dengan serius membahas evaluasi teks sastra secara
psikologis. Paparan dia boleh di katakan akan membantu pemahaman psikologi
sastra yang terkait dengan pembaca. Dalam kaitan ini, pembaca adalah bagian
dari komunikasi sastra yang tidak bisa ditiadakan. Tanpa pembaca, secara
psikologis, sastra kehilangan minat
Selanjutnya, dijelaskan bahwa psikologi sastra meliputi bidang penelitian
yang luas, hanya ada sebagian yang memiliki relevansi dengan penelitian
resepsi sastra secara langsung, yakni penelitian psikologis yang berkenan
dengan pernyataan apakah reaksi interpretatif dan reaksi evaluatif pembaca
terhadap teks sastra dapat diselidiki. Pertanyaan ini memberikan penegasan
bahwa penelitian psikologi sastra dapat menurut dua hal dalam resepsi,
yaitu (a) reaksi pembaca, dan (b) evaluasi pembaca. Pembaca dapat
menginterpretasi teks sastra sesuka hati. Mereka bebas berkomentar, yang
penting masuk akal.
Lebih jelas lagi, perlu dipahami bahwa sosiologi tertarik dalam functioning
masyarakat, sementara psikologi tertarik pada functioning human mind
‘pikiran manusia. Pendapat ini menekankan aspek kejiwaan dalam penelitian
aspek psikologi sastra. Psikologi pembaca juga tidak bisa lepasdari aspek
spikis. Psikis pembaca akan terpantul melalui sikap dan perilaku setelah
membaca sastra. Hal ini mempunyai hal yang kuat dengan metode-metode
tentang psikologi sastra. Psikologi sastra ditandai dengan dengan
penelitian terhadap responden yang jumlahnya terbatas. (kira-kira 25 orang)
penelitian yang biasanya bercirikan eksperimen, berlangsung dalam situasi
laboraturium, yakini terpisah dari realitas. Jumlah responden sekian itu,
menurut hemat saya, tidak proposional, karena Segers sendiri tidak
memaparkan alasan tajam.
Segers juga mengetengahkan bahwa cabang psikologi sastra yang paling
relevan dengan penelitian tentang evaluasi dan atau resepsi sastra
membentuk bagian disiplin yang oleh D.E Berlyne diistilahkan dengan
experimental esthetics, ‘estetika esperimental’ sesuai dengan namanya,
objek estetika eksperimental tidak hanya teks sastra, tetapi setiap bentuk
seni. Berlyne memberikan estetika eksperimental sebagai “studi tentang
efek-efek motivasional” dari karya-karya seni pada penerimanya. Konsep
penelitian Berlyne tersebut sebenarnya cocok untuk menemukan kesan pembaca
sastra. Eksperimentasi estetik dapat di tentukan secara proporsional.
Karrya yang diambil oleh karya sastrawan terkemuka,seperti Taufik Ismail,
Turiyo Ragil Putra, Iman Budhi Santosa, dan sebagainya. Dengan karya-karya
mereka yang dicoba untuk di eksperimenkan pada pembaca, tentu akan
tergambar jauh kesan yang terlintas.
Oleh karena itu, saya tidak akan membicarakan studi-studi, seperti yang di
lakukan oleh L.S Vygotsky, The Psichology of art (1971)’, dan Norma
Holland, The Dynamics of Literary Response (1968), Poems in Persons (1973),
serta Five Readers Reading (1975). Studi Vygotsky merupakan sebuah
penyelidikan ke dalam lapangan psikologi mengenai dunia yang dipeikan dalam
suatu teks sasatra, sementara terbitan Holland mencangkup wilayah
psikoanalisis literar. Beberapa penelitian yang termasuk buku ini,
sayangnya tidak di uraikan secara sistematis. Langkah kerja yang seharusnya
di lakukan dalam studi eksplisit tidak pernah di tampilka. Oleh sebab itu
kita perlu mencari acuan yang sejenis. Faktor motivasi yang perlu
didahulukan dalam penelitian eksperimental estetik sastra ini, yakni
beberapa jauh motivasi pembaca melahap karya satra yang di hadapinya.
Bisa jadi, pembaca memiliki dorongan yang amat teknis, seperti terdorong
oleh faktor finansial. Dengan membaca, mereka bisa membuat esai yang
dikirim ke koran dan laku dijual. Motivasi material ini sah-sah saja.
Disisi lain, ada juga yang tergerak untuk menemukan gagasan spektakuler
dalam sastra. Seluruh alasan bisa saja di bangun oleh pembaca, yang penting
memperkaya psikis mereka.
Dengan kata lain, efek-efek motivasional mereka terkait oleh
hubungan-hubungan kemiripan dan ketidakmirian, keseuaian dan
ketidaksesuaian, keterkaitan dan ketidakterkaitkan; antara elemen-elemen
suatu karya atau karya sastra keseluruhan dan beberapa bagian dunia
diluarnya. Untuk menggunakan istilah itu, telah diusulkan untuk kemudian
mengupayakan dengan lebi baik (Berlyne,1960). Hal ini berarti bahwa
properti-properti kolatif dari pola-pola stimulus memerankan beberapa
bagian. Dalam proses ini, karya sastra yang menjadi stimulus karena pesan
di dalamnya amat menarik. Respon pembaca akan ditentukan oleh stimulus,
baik yang spontan maupun yang berproses.
Berlyne (Sayuti,2000) mengaku bahwa “properti-properti kolatif, merupakan
properti-properti ‘struktual atau formal’. Akan tetapi, kenyataanya, ia
membatasi pemakaian istilah ‘kolatif’ pada kasus-kasus ketika pola-pola
stimulus membangkitkan perasaan, misalnya novelty ‘kebaruan’, suprisingness
‘keterkejutan’, complexity ‘kemajemukan’, ambiguity ‘ambiguitas’, dan
puzzlingness ‘keterteka-tekian’. Istilah kolatif yang diintroduksikan untuk
menunjuk properti-properti tersebut secara kolektif, mengingat kenyataan
bahwa untuk memutuskan betapa baru, mengejutkan, majemuk, dan seterusnya,
sebuah pola; seseorang harus membandingkan informasi dari dua sumber atau
lebih.” Akan tetapi, apabila propertif kolatif merupakan properti struktual
dalam pengertian yang terbatas, istilah “variabel kolatif” masih
benra-benar kabur. Sebaliknya, pandangan Berlyne bahwa properti-properti
seni dapat diidentifikasi hanya dengan referensi pada suatu situasi
komunikasi khusus, benar-benar sesuai dengan pendekatan kita. Tentu saja
Berlyne benar ketika menulis bahwa untuk menentukan tingkan kebaruan,
seseorang harus mencatat “ hubungan similaritas atau disimilaritas antara
sesuatu yang dijumpai di mas kini dan dimasa lampau” (ibid.). penelitian
Berlyne sangat besar nilainya, tepatnya karena dia mengetahui bahwa karya
seni tidak berfungsi in vacuo.
Apapun alasannya, saya ikut menggarisbawahi bahwa studi eksperimental
Berlyne telah memebrikan sumbangan berharga bagi psikologi pembaca. Aspek
psikis pembaca, seperti aspek terkejut, penuh tanda tanya,ingin kebaruan,
dan ingin kebebasan prural adalah potret keinginan jiwa. Kejiwaan demikian
akan dirangsang oleh karya satra atau seni. Jika ada pembaca atau pemikat
yang kaki atau tangannya bergerak-gerak pada waktu mendengarkan lagu Iwan
Fals, Ebiet G. Ade, atau Manthous, berarti proses psikologis telah terjadi.
Begitu pula, pada saat orang membaca novel atau roman Siti Nurbaya ikut
terlibat di dalamnya, berarti telah terjadi gumpalan psikologis yang luar
biasa.
Evaluasi teks sebagai jalur aspirasi dan reaksi pembaca bisa spontan.
Pembaca yang sukses, tentu akan mengevaluasikan secara psikis terhadap
teks. Evaluasi disadarkan atas motif dan dorongan tertentu. Akibatnya,
motivasi akan menduduki peranan penting pada saat pembaca bergumul dengan
teks. Pembaca dapat “menghidupkan” teks atau sebaliknya “mematikan” teks
sastra. Rasa setuju dan tidak setuju akan muncul dalam benak pembaca.
Pembaca kadang-kadang juga hakim psikologis setelah membaca sastra.
2. Langkah Kerja Estetik Eksperimental
Sebuah langkah eksperimental yang di tawarkan Bleich (Pradopo,1991:131)
cukup penting di pegang oleh peneliti psikologi pembaca. Menurut dia,
peneliti perlu menangkap “respon subjektif” pembaca teks. “Respon
subjektif” ini akan menjadi data objektif. Untuk menangkap hal ini dapat di
lakukan melalui dua kategori, yaitu (1) “kejiwaan” spontan membaca
terhadapa teks, dan (2) “arti” yang diatributkan pembaca kepadanya. Tanda
petik pada kata jawaban dan arti ini menunjukan bahwa keduanya adalah yang
perlu dilacak. Jawaban pembaca adalah ekspresi orisinal. Adapun arti harus
diinterpretasikan. Itulah pelacakan eksperimental yang patut dikritisi
dalam penelitian.
Berlyne (1972) mempertahankan bahwa eksperimental bukanlah disiplin
normatif yang meneliti dan menerangkan bagaimana seni “tinggi dan rendah”
seharusnya di bedakan. Dengan demikian, salah satu tugas estetika
eksperimental adalah menyelidiki alasan mengapa seseorang (misalnya si A)
menilai suatu karya sastra secara positif, dan mengapa si B menilai secara
negatif. Dalam kaitan ini ada 3 kategori esthetic behavior ‘perilaku
estetis’ yang dimungkinkan menjadi objek estetika eksperimental, yakni
seniman yang menciptakan karya, aktor, penyanyi, dan penari, dan seterusnya
yang berperan sebagai perantara, dan penerima, pendengar, atau pembaca.
Kategori terakhir itu yang pertama yang akan di perhatikan.
Metode apakah yang tersedia bagi estetika eksperimental? Berlyne (1972)
menyusun perbedaan-perbedaan sebagai berikut: (1) sebagian besar rencana
penelitian telah dioperasikan dengan putusan verbal dalam kaitannya dengan
karya-karya seni; (2) ada juga beberapa metode penelitian yang
mengimplikasikan pencatatan psikologikal, misalnya mereka mencoba mengukur
perubahan-perubahan dalam, aktivitas otak yang elektris ketika subjek
sedang melihat film atau mendengarkan musik, yang mungkin menunjukan
perubahan tingkatan perasaan. (3) ada metode untuk mengukur apa yang
disebut non-verbal overt behavior ‘pelaku non verbal’, misalnya suatu
analisis dapat dibuat tentang pilihan yang dilakukan subjek terhadap dua
karya seni atau lebih, dan waktu yang di butuhkan dalam setiap pilihan
dapat diukur; (4) ada proyek yang tidak memerlukan responden, tetapi
bermaksud menganalisis secara stastistik materi artistik atau artefak,
dengan pemusatan perhatian pada isi atau hubungan antara kelas-kelas
elemen.
Dari langkah atau metode kerja diatas menurut hemat saya bukan mustahil
dapat diterapkan dalam aset satra. Syaa pikir metode yang kedua dan ketiga
jauh lebih simpel dan cocok untuk psikologi pembaca. Penelitian psikologi
sastra dapat menangkap aspek perubahan psikologis pembaca satra dan alasan
motivasonal mebaca sastra. Dalam kaitan ini, representasi psikologis cukup
kental ditampilakan oelh pembaca. Dalam studinya yang terkenal, Practical
Criticism (1929), Recards mengumplkan reaksi-reaksi dari sejumlah mahasiswa
undergraduates universitas di inggris terhadap puisi. Tujuannya adalah
pertama, mengenalkan suatu jenis dokumentasi baru kepada mereka yang
tertarik pada buya kontemporer. Kedua, untuk memberikan teknik baru pada
mereka yang ingin memperoleh apa ynag mereka pikirkan dan rasakan tentang
puisi dan mengapa mereka suka atau tidak suka. Ketiga, meyiapkan cara bagi
metode-metode edukasioanal yang lebih efesien daripada yang kita pakai
sekarang dalam mengembangkan perbedaan dan daya untuk memahami apa yang
kita dengar dan baca (Richards, 1929:3). Kegita reaksi seseorang terhadap
puisi merupakan cermin jiwa. Saya memandang ketiganya penting, dan yang
pokok adalah alasan kesan mereka. Alasan psikologis akan tampak pada ucapan
maupun tindakan.
Reaksi-reaksi siswa dibaca dan diklasifikasikan oleh Rechards berdasarkan
kesulitan yang dihadapi siswa dalam pemahaman puisi. Analisis ini
memunculkan sepuluh faktor yang semuanya menunjukan masalah yang
berbeda-beda pada penafsiran puisi oleh para siswa. Sebagai contoh, faktor
semacam itu adalah “imajeri”. Materi Richard menunjukan bahwa imajeri
adlaah sumber kekacauan dari penyimpangan-penyimpangan kritikal;
imaji-imaji yang hidup dalam pikiran tidak perlu memiliki kemiripan dangan
imaji-imaji yang hidup yang sama yang di gerakan oleh baris puisi yang sama
dalam puisi lain. Setting Qatar pun tidak ada kaitannya dengan imaji-imaji
yang ada dalam bentuk penyair (Rechard, 1929:13). Hasil Richards tidak
hanya di bakukan dalam sepuluh kategori itu karena ia juga mampu
merealisasikan 3 tujuan yang disebutkan diatas. Ia membicarakan keadaan
budaya sekarang seperti yang di perlihatkan oleh reaksi-reaksi siswa; ia
memberikan bantuan yang dapat ditawarkan oleh psikologi dengan mengingat
putusan-putusan terhadap puisi, dan ia menunjukkan apa yang dapat
dikerjakan dalam pengajaran bahasa inggris untuk memperbaiki penguasaan
bahasa.
Pendekatan penelitihan Rechards tampaknya lebih menarik daripada hasilnya.
Dia adalah seroarng diantara sarjana yang memandang sastra dari prespektif
orientasi komunikasi. Ia mengombinasikan beberapa konsep dasr teori
komunikasi yang oleh D.E. Berlyne disebut estetika eksperimental. Hasil
yang dicapai dalam eksperimennyaberkisar dari yang agak trivial sampai yang
agak jelas. Seperti yang disimpulkan Hirsch (1968:75), Practical Criticism,
“benar-benar mendemonstrasikan bahwa tanpa orientasi-orientasi yang
membantu, seperti judul-judul dan atribut-atribut, pembaca mungkin
memperoleh konsep-konsep generik tentang sebuah teks yang luas bedanya, dan
konsepsi-konsepsi tersebut akan membantu pemahaman-pemahaman selanjutnya”.
Bahwa hasil keseluruhan penelitihan rechards tenyata jelek disebabkan oleh
tiga alasan yang tergabung. Petama, tidak adanya teknik-teknik stastistik
yang canggih, dan yang sekarang ini tersedia seharusnya disebutkan.
Rechards telah terlampau (terpasa) menggunakan metode yang agak subjektif,
yaitu analisis isi (content-analysis). Kedua, ada faktor reduksi
behavioristik terhadap puisi. Rene Wellek (1989:49) dengan seksama
mengamati bahwa dalam tulisna-tulisan Rechards, perbedaan anatara estetika
dan emosi-emosi lain dihilangkan, dan seni serta puisi di kurangi fungsinya
dari sarana untuk “menolakan implus-implus kita’, menjadi alat untuk
“terapi mental”. Ketiga pemilihan responden yang terdiri atas tingkat I dan
II dengan usia rata-rata 18-19 tahun. Hal itu merupakan masalah selera dari
pembaca karena itu menunjukan apa yang terjadi ketika orang yang belum
pernah memilikirkan bahasa yang mereka pergunakan sehari-hari, tiba-tiba
diminta untuk melaporkan dengan tepat pengalaman mereka dengan puisi, dan
lebih parah lagi diminta dalam konteks sebuah asumsi perbedaan puitik.
Dari langkah dan beberapa kritik Segers terhadap hasil penelitian diatas,
dapat saya cermati bahwa studi psikologis memang membutuhkan pengendapan.
Studi psikologis terhadap pembaca terkait dengan sejumlah hal. Saya
sebenarnya juga tidak sependapat bahwa studi eksperimen estetik harus
secara stastistik, namun dengan penelitihan isi pun tidak keliru. Hanya
saja penelitihan isi itu perlu diujicobakan pada komunitas baca. Kesesuaian
sastra dengan komunitas tak kalah menarik. Jika para buruh yang dijadikan
informan ataupun responden, tentu sastra yang di ambil harus sejalan
dengannya.
2.5 Tipologi Psikis Pembaca
1. Kejiwaan Pembaca Sastra Anak
Yang di maksud pembaca sastra anak adalah anak itu sendiri. Meskipun orang
remaja dan dewasa bisa membacanya, pembaca sastra anak dalam konteks ini
lebih khusus. Anak-anak kita memang juga tidak membaca sastra anak saja.
Jika dicermati, kejiwaan anak menghadapi bacaan memang jauh lebih berbeda
dengan orang dewasa dan dan remaja. Hobi dan segmen bacaan anak juga bisa
berlainan sama sekali. Bacaan yang di benci orang dewasa, mungkin di gemari
anak.
Nurgiyantoro (2005:35-41) memberikan beberapa kontribusi sastra anak bagi
anak. Kontribusi ini tentu terkait pula dengan kejiwaan anak. Menurut dia,
sastra anak diyakini memiliki kontribusi yang besar bagi perkembangan
kepribadian anak dalam proses menuju ke kedewasaan sebagai manusia yang
mempunyai jati diri yang jelas. Nyanyi-nyanyian yang biasa didendangkan
seorang ibu untuk membujuk agar si buah hati segera tertidur atau sekedar
untuk menyenangkan, pada hakikatnya juga bernilai kesastraan dan sekaligus
mengandung nilai yang besar andilnya bagi perkembanga kejiwaan anak,
misalnya nilai kasih sayang dan keindahan.. dalam konteks semacam ini,
sebenarnya anak sebagai penikmat, mungkin juga sebagai pembaca. Mereka
umumnya memiliki tipe khas, yaitu ingin berfantasi, beriang-riang, dan
hendak mencari figur. Katakan saja jika diberi bacaan atau dongeng kecil,
anak tentu akan tergelitik kejiwaannya.
Jika demikian, berarti konstribusi sastra anak bagi pendengar dan pembaca
yang masih anak-anak dapat memupuk pertumbuhan berbagai pengalaman
(rasa,emosi,bahasa),personal (kognitif,sosial,etis, spiritual) eksplorasi
dan penemuan, namun juga petualangan dalam kenikmatan. Hal ini dapat
dinyatakan nahwa anak akan berjiwa petualang/ itulah sebabnya ketika
berhadapan dengan bacaan, yang di gemari tentu yang memuat masalah
petualangan maupun hero.
Karya demikian akan menyentuh rohani anak. Jiwa anak semakin subur, kian
berkembang dengan bacaan yang menantang. Dari berbagai fungsi yang di
tawarkan Nurgiyantono (2005), yaitu fungsi emosional, intelektual, dan
imajinasi, kiranya yang paling dekat dengan gagasan psikologi pembaca
adalah masalah emosi dan imajinasi. Jika anak tersebut sudah mampu melahap
bacaan yang dia sukai, misalnya cerita rakyat Asal-Usul Kota Gudeg,
Asal-Usul Sleman, Asal-Usul Kali Urang, dan sebagainya. Rasa bahagia dan
gembira ketika memahami tokoh dan asal-usul tempat yang pernah dia
kunjungi. Emosi gembira yang diperoleh anak tersebut penting karena hal itu
juga akan merangsang kesadaran bahwa ia dicintai diperhatikan. Pertumbuhan
kepribadian anak tidak akan berlangsung secara wajar tanpa cinta dan kasih
sayang oleh orang disekelilingnya.
Contoh-contoh cerita akan bertingkah laku baik secara verbal maupun
nonverbal yang menunjukkan sikap emosionalnya, seperti ekspresi gembira,
sedih, takut, terharu, simpati, dan empati, benci dan dendam, memaafkan,
dan lain-lain, secara kontekstual sesuai dengan alur cerita. Tokoh
pratagonis akan menampilkan tingkah laku yang baik, sebaliknya toko
antagonis akan menampilkan tingkah laku yang kurang baik. Pembaca anak akan
mengidentifikasikan dirinya kepada tokoh pratagonis sehingga sikap dan
tingkah lakunya. Tokoh wayang Gatotkaca mungkin disukai atas keperkasaannya
oleh anak laki-laki. Tokoh srikandi dalam wayang, bisa jadi menjadi
kesayangan anak perempuan. biasanya, ketika mendengar, menonton, dan
membaca, anak akan menganalogikan dirinya dengan tokoh. Tokoh tersebut
dianggap akan mewarnai kepribadiannya.
Dengan demikian, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan membaca
buku-buku cerita itu anak akan belajar bersikap dan bertingkah laku secara
benar. Lewat bacaan cerita itu anak akan belajar bagaimana mengelola
emosinya agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Kemampuan
seseorang mengelola emosi istilah yang di pakai adalah Emotional quotient
(EQ) yang analog Intelliegence Quotient (IQ) juga Spiritual Quotient (SQ)
dewasa ini dipandang sebagai aspek personalitas yang besar pengaruhnya bagi
kesuksesan hidup, bahkan diyakini lebih berperan daripada IQ.
Memang benar, ketika anaka membaca sastra sebenarnya terjadi proses
psikologis. Dna dirinya ada “dialog” kejiawaan dengan tokoh, lingkungan,
dan stilistika sastra itu. dengan kata lain, ketika anak berhadapan dengan
sastra, baik itu yang berwujud suara maupun tulisan, sebenarnya kita lebih
berurusan dengan masalah imajinasi, sesuatu yang abstrak yang berada
didalam jiwa, sedang secara fisik sebenarnya tidak terlalu berarti. Bagi
anak usia dini yang belum dapat membaca dan hanya dapat memahami sastra
lewat orang lain, cara penyampaiannya masih amat berpengaruh sebagaimana
halnya orang dewasa mengapresiasi poetry reading atau deklamasi. Sastra
yang notabene adalah karya mengandalkan kekuatan imajinasi, menawarkan
petualangan imajinasi yang luar biasas kepada anak. Denggan membaca bacaan
cerita sastra, imajinasi anak dibawa berpetualang ke berbagai penjuru
dunia. Lewat cerita All anak akan memperoleh pengalaman yang luar biasa
(vicarious experience) yang setengahnya mustahil diperoleh dengan cara-cara
selain membaca sastra.
Ketika anak berhadapan dengan cerita, seperti Bawang Merah Bawang Putih,
Cinderella, atau Harry Potter, rasa-rasanya seperti diajak berpetualang
meninggalkan pijakannya dibumi. Imajinasi anak ikut berkembang sejalan
dengan larutnya seluruh kedirian pada cerita yang sedang dinikmati. Ia akan
segera melihat dunia dengan sudut pandang yang baru, dengan sedikit
perubahan akibat pengalaman yang di perolehnya. Daya imajinasi berkolerasi
secara seginifikan dengan daya cipta. Berikut campur tangan imajinasi pula
karya-karya besar bahkan teori besar, bermunculan di hadapan kita.
Atas dasar gagasan demikian, berarti aspek psikologis terpenting pada
pembaca anak yang perlu dilacak adalah emosi dan imajinasi. Emosi akan
menuntun beberapa jauh rasa yang tumbuh dalam diri anak. Mungkin mereka ada
teman berdialog mungkin pula rasa solidaritas dan personalnya semakin arif.
Seluruhnya tergantung karya sastra yang membentuknya. Eksperimen sastra
pada anak, pada gilirannya perlu dilakukan. Penjajakan keinginan dan
perasaan anak akan terlihat pada bacaannya.
2. Tipologi Psikis Pembaca Remaja
Pembaca juga raja. Dia berhak membuat merah hijau karya. Kebebasan
imajinasi sering tak terkontrol. Akibatnya, sastra kadang-kadang lebih
indah dari aslinya ketika disantap pembaca. Yang harus dicermati psikologi
pembaca adalah ada berbagai tipe pembaca. Tipe-tipe itu memerlukan
penelitian khas. Pembaca kritis dengan pembaca lugas tentu berbeda
reaksinya. Pembaca yang kalut dengan yang riang gembira, juga berbeda.
Tupe-tipe dapat dikenai eksperimen hingga menghasilkan keteguhan yang
memadai.
Remaja mungkin gemar pada hal-hal cinta dalam sastra. Cinta adalah ihwal
universal psikis manusia. Maka, kalau pembaca remaja mendambakan cinta dan
seks, itu sah-sah saja. Golongan pembaca dari sisi umur memang sering
berbeda inisiatif dan minatnya. Pembaca remaja, biasanya berbeda dengan
pembaca dewasa. Hal ini dapat dilihat pada penelitian James R squire
(segers,2002:77-82) melakukan sesuatu eksperimen dengan menggunakan empat
buah cerpen yang dibaca oleh 52 siswa yang berusia rata-rata 15 tahun.
Cerpen-cerpen tersebut bertemakan suatu hal yang umum, yakni perkembangan
personal. Respon mereka memberikan tanggapan lisan berkenan dengan
masing-masing cerpen, berdasarkan atas enam segmen cerita yang sama bagi
setiap responden. Dengan menggunakan analisis isi, dimungkinkan menyusun
tuju kategori reaksi, yaitu putusan nilai, reaksi intrepretasi : Reaksi
negatif, asosiasi psikologis, reaksi yang menyangkut keterlibatan, reaksi
preskriptif, akhirnya tentang suatu ketagori yang lepas termasuk
keanekaragaman reaksi. Hasil terpenting penelitian itu adalah perbedaan
jenis kelamin umumnya tampak bukan merupakan faktor penentu dalam kaitannya
dengan perbedaan reaksi. Ada korelasi yang jelas antara keterlibatan
pembaca dalam cerita dengan rekognisi nilai sastrawi cerita itu. hanya ada
sejumlah kecil reaksi asosiatif yang menunjukkan bahwa bagi pandangan
squir, hanya ada sedikit siswa yang menghubungkan cerpen yang di baca
secara eksplisit dengan kehidupan mereka sendiri; ukuran inteliger dan
pengalaman membaca tidak dapat untuk meramalkan atau memprediksi kualitas
interpretasi-interpretasi individual terhadap cerita.
Meskipun squire tidak eksplisit menyebut pembaca remaja, namun dari
tampilan yang di paparkan adalah meneliti tanggapan pembaca usia remaja.
Selanjutnya, dikemukakan hasil penelitian terhadap cerpen demikian
sebenarnya cukup bagus. Hal itu juga dapat diterapkan pada sastra di
indonesia. Persoalannya, responsibilitas seseorang terhadap sastra ada
kalanya juga amat ditentukan oleh stimulus. Jika karya yang di baca
benar-benar sesuai dan merangsang pembaca, secara otomatis akan terjadi
interaksi estetis. Karya-karya cerpenis Soim Anwar, Triyanto Triwikromo,
Bonari Nabonenar, dan sebagainya yang berkisah mantan Presiden Soeharto
barangkali cukup representatif bagi responden mana pun. Apalagi Soeharto
sebagai figur penting selama 32 tahun, hingga kesan pembaca akan lebih
interaktif. Cerpen-cerpen simbolik tersebut tentu lebih cocok diperuntukkan
bagi pembaca yang memiliki intelektual lebih. Dalam konteks ini, mahasiswa
sastra yang gemar bermain simbol dapat dijadikan responden.
Sarjana Swedia, Gunnar Hansson, memiliki konsepsi yang menarik tentang
status teks sastra dalam disertasinya (1959) Dikten och Lasaren,
reaksi-reaksi siswa SMU diteliti. Di sini kita tertarik tidak hanya pada
deskripsi reaksi-reaksi tersebut, tetapi pada sebuah penjelasan ringkas
konsepsi Hansson tentang istilah “teks sastra” (yang dibatasinya pada
puisi). Hansson mendekati konsep puisi dalam suatu cara psikolinguistik.
Hal itu mengimplikasikan bahwa sabuah kata berfungsi sebagai stimulus yang
dipakai sebagai landasan pembentukan gagasan dan reaksi-reaksi yang
terjadi. Jadi, Hannson melihat puisi sebagai medium antara pengarang dan
pembaca. Pembaca menerima puisi sebagai seperangkat stimulus yang dia
interpretasi dan evaluasi berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya.
Pengalaman membaca cerpen adalah modal utama pembaca. Psikologi pembaca
akan di bangun oleh keseringan membaca cerpen. Pembaca yang sudah terbiasa
membaca cepren, mungkin tidak ingin mencermati kalimat perkalimat. Mereka
merekam esensi dan keindahan menurut persepsinya. Akibatnya, ada sebuah
karya sama ketika jatuh pada pembaca yang beda, reaksi boleh sama dan beda.
Dalam kaitan ini, menarik dicermati gagasan Hnnson yang membedakan dua
aspek puisi yang berbeda, yakni puisi pengarang dna puisi pembaca. Puisi
pengarang merupakan sebuah rekontruksi proses kreatif (asal-mula, motivasi,
tujuan, dan pikiran-pikiran) tentang suatu puisi. Pengarang mungkin
memaparkan keanekaragaman detail-detail proses kreatif dalm pembicaraan,
surat,atau komentar yang bersifat personal. Puisi pembaca merupakan sebuah
kontruksi arti (pikiran-pikiran, atau gagasan-gagasan) suatu puisi yang
didasarkan pada pengalaman-pengalaman selama proses pembacaan. Proses
kreatif terkait dengan bagaimana psikologi pengarang diekspresikan secara
estetis, pembacaan merupakan refleksi kritis dan psikologis terhadap proses
kreasi.
Dalam disertainya Student Response to Narrative Teachniques in Fiction
(1972). Elizabeth Nicol bermaksud menentukan reaksi-reaksi siswa SW
terhadap Narrative Techniques dalam cerpen. Permasalahan yang dituju adalah
aspek-aspek teknik naratif yang mana, yang menjadi perhatian siswa? Jika
siswa-siswa dihadapkan pada gaya-gaya yang berbeda dalm cerpen, apakah
mereka memperhatikan kualitas teknik yang membuat keanekaragaman cerpen
menjadi karya seni? Atau, apakah siswa-siswa memberikan reaksi dengan
landasan seperangkat ciri sastra yang sama, tanpa bergantung pada
kualitas-kualitas khusus teks yang berbeda? Berbagai pertanyaan ini telah
masuk lebih jauh pada aspek sastra. Hanya siswa yang belajar sastra secara
serius barangkali yang akan mampu menjawab secara detail. Pertanyaan
demikian tentu saja perlu diselaraskan lagi dengan sasaran psikologis agar
tidak tergoda pada hal-hal teknis.
Ternyata, dari responden yang berjumlah 150 siswa SW, setiap orang membaca
dua cerpen dan kemudian mengisi kuesioner yang diprecoded. Untuk melengkapi
metode yang resmi itu diadakan pula wawancara yang tidak terstruktur. Salah
satu hasilnya adalah interview hampir tidak membuahkan hasil yang berguna.
Ini penting bagi penelitian kita. Preferensi seharusnya diberikan pada
kuesioner yang formal, yakni kuesioner tersebut memberi responden suatu
instrumen sehingga mereka dapat menyelidiki sebuah teks sastra secara lebih
objektif dan lengkap. Hasil penting pengamatan Nicol lainnya ialah
siswa-siswa SMU mampu memberikan reaksi dengan berdasarkan aspek teknik
teks-teks sastra. Akhirnya, dia menyimpulka bahwa respon sastra yang
dikenali dan diungkapkan seorang pembaca hanyalah bagian dari
keseluruhannya, respon private pada suatu objek sastra. Akan tetapi, bagian
tersebut merupakan semua yang kita miliki sebagai bukti bagi keberhasilan
atau kegagalan dalam mengangkat respon-respons sastra para siswa. Kondisi
semacam ini sekaligus sebagai upaya menangkap sejuah mana responden tahu
sastra. Penguasan sastra pembaca awam dengan siswa bisa saja berbeda. Orang
yang akademik tentu berbeda tipe bacaannya.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Rechard Beach dan Alan C. Purves (19720
memberikan suatu survei yang ekstensif tentang semua penelitian yang
berkiatan dengan psikologi sastra sehingga tahun1972. Publikasi-publikasi
dalam bidang psikologi sastra di bagi oleh Beach dan Purves menjadi tiga
kelompok. Pertama, studi-studi yang dibicarakan ialah studi yang merajuk
pada reaksi-reaksi yang di berikan oleh pembaca dalam kaitannya dengan teks
sastra. Pengarang menekankan bahwa studi-studi (...) cenderung mendukung
teori kritik transaksional yang disusukn oleh Rosenbaltt, yeng
menggambarkan formulasi transaksional dewey dan Bentley bagi ilmu-ilmu
alam. Teori ini menyatakan bahwa ada sebuah teks dan seorang pembaca
individual, dan transaksi antara mereka berdua menghasilkan sebuah sajak
(Beach dan Purves, (1972;35). Kelompok kedua terdiri atas
publikasi-publikasi mengenai metodologi pedagogik pengajaran sastra.
Terakhir, sangat layak untuk disebutkan adalah Georg Lubbers (1972 dan
1973), yang mencoba untuk membuat model Hannson (1964) lebih aplikabel bagi
pengajaran sastra di SMU. Pertama-tama, Lubers mengajarkan skala bipolar
(sebagai contoh, simpati tidak simpati; menggembirakan-membosankan) dalam
suatu kuesioner yang di berikan pada siswa-siswanya. Ia percaya bahwa skala
merupakan instrumen didaktik yang penting, yang dapat mengukur pengalaman
membaca siswa. Hasil skala diterjemahkan dalam kata-kata dan dipergunakan
sebagai bahan diskusi di dalam kelas. Dalam fase penelitian berikutnya,
Lubbers mengubah dari bipolar menjadi skala unipolar karena ia yakin behwa
ciri-ciri yang berlawanan (kutub yang berlawanan pada skala bipolar)
mungkin diterapkan pada teks yang sama.
Model penelitian psikologis semacam itu sebenarnya relevan jika diterapkan
di negara kita, khususnya berkaitan dengan tindakan kelas. Penelitian yang
berbasis kelas akan mampu memperbaikiseluruh aspek pembelajaran sastra.
Aplikasi penelitian demikian, bila dikembangakan terus, sebenarnya akan
menjawab aneka kritik, mengapa siswa kita kurang melek sastra. Perilaku
siswa akan menentukan betapa besar motivasainya pada sastra. Setiap siswa
sering memiliki kecenderungan yang berbeda dalam bersastra.
3. Tipologi Psikis Pembaca Dewasa
Pembaca dewasa, tentunya berlainan sama sekali dengan remaja. Orang dewasa
telah matang kejiwaannya. Tentu saja penguasaan kode-kode baca pun telah
masak. Akibatnya, pembaca dewasa sering memiliki tradisi estetis
tersendiri. Hal ini dapat terlihat dari paparan Segers yang mendasarkan
pada penelitian beberapa ahli lain. Menurut Segers, sering menjmpai bahwa
reaksi estetis dari bermacam-macam individu tampak memiliki kemiripan
sampai tingkat-tingkat tertentu. Mereka mendapatkan faktor-faktor yang
signifikan secara stastik pada saat kelompok-kelompok yang anggotanya
terdiri atas lima belas orang yang umum. Hal itu terjadi tanpa mengatakan
bahwa perbedaan-perbedaan antara reaksi-reaksi estetis sama-sama pentingnya
dengan kemiripan-kemiripannya. Berlynee (Sayuti, 200:78-82) memberitahukan
bahwa variasi individual dan kultural dalam cita rasa estetis hampir tidak
dapat diamati, tetapi pencarian prinsip-prinsip yang umum, yang di terapkan
setap orang merupakan pendahuluan atau perintisan yang penting untuk
meneliti atau menguji dan menghitung suatu rentang variasai. Variasi
tanggapan individu akan memperluas cakrawala sastra. Proses pembedaan ini
juga menarik disimak untuk memahami pluralitas.
Dalam buku Dikti profil (1964), Hansson meneliti puisi Endymion karya
penyai Swedia, Erik Johan Stagnelius (1793-1823). Tiga orang kritikus
Swedia yang penting telah memberikan interpretasi yang berbeda-beda
terhadap puisi tersebut, yang oleh Hansson di pertimbangkan sebagai
hipotesis-hipotesis penelitiannya. Ia mencoba menunjukan dengan sarana
skala bipolar untuk mengetahui seberapa jauh proposisi-proposisi kritikus
yang didukung oleh putusan-putusan tiga kelompok pembaca. Tiga kelompok
pembaca disusun secara berbeda berdasarkan reading habits ‘kebiasaan
membaca’, cultural ‘budaya’, dan intellectual education ‘pendidikan
intelektual’ tiga kelompok pembaca tersebut adalah profesor dan guru
sastra, mahasiswa tingkat I, dan guru-guru sekolah teknik tanpa pendidikan
tinggi. Salah satu hasil yang mengejutkan ialah kenyataan bahwa tidak ada
perbedaan interpretatif yang jelas diantara 3 kelompok yang diamati; semua
kelompok membaca dalam suatu cara “berpengalaman” yang sejajar. Penelitian
Hansson tampaknya mendukung hipotesisnya bahwa tipe reaksi adalah sama bagi
keolmpok-kelompok dengan tingkat pendidikan yang berbeda hasil ini
tampaknya bertentangan dengan simpulan puvers, yakni renspons terhadap
sastra merupakan behavior yang dapat dipelajari yang bergantung pada usia
dan budaya.
Peta psikologis pembaca demikian, sekaligus meneguhkan tipe-tipe konteks
pembaca. Pembaca akan di pengaruhi oleh kode-kode dan pengalaman
psikologisnya. Itulah sebabnya ketika peneliti harus menyusun pertanyaan
perlu memerhatikan kode-kode dan tipe pembaca. Eberhard frey (1970), pernah
mengkaji pembaca denga 55 responden, kebanyakan mahasiswa universitas,
menerima sebuah koleksi fragmen mengenai satu subjek : cuaca dan udara.
Responden diminta menjawab tiga pertanyaan, (1) Fragmen manakah yang
menurut anda daya tariknya paling besar dan fragmen manakah yang paling
kecil? (2) berilah nilai pada setiap fragmen (rentang nilai 1-10) dan
tandai atau komentari setiap fragmen dengan sejumlah kata (misalnya
membosankan, membingungkan, dan sentimental), dan (3) garis bawahilah
setiap ciri stalitik, setiap kontruksi gramatikal yang menarik atau
mengejutkan anda baik bersifat positif atau negatif. Hasil terpenting
penelitian ini adalah bahwa responden mereaksi secara asal saja terhadap
ciri-ciri stilistik yang sama, sehingga kesepakatan yang penuh tidak
tercapai (lihat juga Frey, 1972 dan 1974). Pertanyaan terbuka dan tertutup
memang signifikan untuk mengungkap reaksi pembaca. Hal ini perlu
dipertimbankan agar tercipta reaksi yang benar-benar sahih.
Atas dasar temuan berbagai aplikasi eksperimental estetis diatas, dapat
dikemukakan sebenarnya sastra itu secara psikologis memiliki daya tertentu.
Sastra tetap berfungsi mengubah sesuatu, sekecil apapun. Namun, dalam
proses pembacaan, juga amat di tentukan oleh tipologi pembaca. Pembaca yang
menguasai kode-kode, tentu berbeda dengan pembaca awam. Pendek kata,
psikologi pembaca adalah kondisi yang sifatnya tempramental. Pembaca dapat
membentuk dan di bentuk oleh sastra.
Pembaca dewasa relatif lebih mapan psikisnya. Banyak pilihan pun mereka
lakukan dalam menentukan bacaan. Karena keseimbangan emosi stabil, tentu
daya kekuatan psikis sastra ada perbedaan dibanding pembaca remaja dan
anak. Motivasi dan minat baca orang dewasa juga perlu dilacak. Ada pembaca
yang sekedar bersenang-senang, ada yang ingin meneliti, dan yang bermotif
ekonomi, politik, budaya, dan seterusnya. Seluruh hal tersebut dicermati
aspek psikologinya sehingga ditemukan makna yang segnifikan. Pembaca juga
raja. Dia berhak membuat merah hijau karya. Kebebasan imajinasi sering tak
terkontrol. Akibatnya, sastra kadang-kadang lebih indah dari aslinya ketika
disantap pembaca. Yang harus dicermati psikologi pembaca adalah ada
berbagai tipe pembaca. Tipe-tipe itu memerlukan penelitian khas. Pembaca
kritis dengan pembaca lugas tentu berbeda reaksinya. Pembaca yang kalut
dengan yang riang gembira, juga berbeda. Tupe-tipe dapat dikenai eksperimen
hingga menghasilkan keteguhan yang memadai.
BAB III
PEMBAHASAN
Cerpen yang berjudul “Di Belakangku” merupakan salah satu judul cerpen dari
beberapa kumpulan cerpen yang berjudul BH karya Emha Ainun Najib. Cerpen
ini menjadi objek kajian penelitian yang kami angkat dalam pembahasan
makalah ini.
Cerpen “Di Belakangku” berisikan cerita tentang anak kecil yang sedang
mencari wujud Tuhan. Beragam jawaban dari ibu, bapak, dan guru di sekolah
tak membuatnya puas. Ia terus berlari mencari Tuhan. Tokoh dalam cerpen ini
menggunakan sudut pandang orang pertama, yaitu aku. Tokoh aku kental akan
penggambaran psikologi.
Terkait hal tersebut di atas, maksud yang tersirat dalam cerpen “Di
Belakangku” barang kali Emha Ainun Najib ingin mengajarkan bahwa ada
wilayah yang tak bisa dibereskan dengan mata telanjang semata, tapi ada
mata batin tentang Allah yang Maha Ghaib di luar sedangkan sepanjang
manusia masih bersifat biologis. Dibalik dunia biologis ada hal yang
bersifat sangat rohani. Berikut deskripsi data dan analisis psikologi
sastra cerpen “Di Belakangku”.
3.1
Deskripsi Data
dari cerpen dibelakangku
Berikut deskripsi data analisis cerpen “Di Belakangku” karya Emha Ainun
Nadjib:
Kritik sastra
|
“Sebenarnya kisah ini bermula sejak masa kecilku. Yakni
ketika pikiranku pertama-tama bertumbuh, maksudku ketika
aku mulai sadar bahwa di dalam mengerjakan hidup ini aku
harus berpikir. Syahdan maka segala sesuatu ku pikirkan
adanya.” (BH: 210-211).
· “Aku tidak bisa mengerti kenapa kedua orang yang sama-sama menyayangiku ini tidak saling berteguran. Tetapi beberapa tahun kemudian aku bisa membereskan kedua pertanyaan itu ketika aku tahu dari lubang mana sebenarnya kelahiranku di lewatkan, dan ketika oleh ibu aku di beritahu bahwa kakekku itu sesungguhnya seseorang perampok. Katanyan kakek taka da hubungan darah dengan ibu. Jadi juga dengan aku. Kakek adalah suami nenek sesudah nenek bercerai dengan kakekku yang sebenarnya.” (BH: 212-213) “Yang paling tidak di puaskan oleh pikiranku ialah kecenderungan menggampangkan Tuhan yang kurasakan dari kalimat-kalimat itu. (…) Jadi kebingunganku itu akhirnya memuncak ketika ada guru lain yang berfilsafat tuhan itu berada dimana-mana, sekaligus tak berada di mana-mana….” (BH: 215) |
Kritik sastra
|
· Mula – mula pertanyakan sederhana saja kepada Ibu: “Bu,
Ibu ! sebenarnya aku ini di lahirkan oleh Ibu lewat mana
?”. (...) Aku lantas meraih tangan ibu dan memegang
ketiaknya. Tetapi jelas kulihat tidak ada lubang di ketiak
itu yang memungkinkan aku lewat padanya. (BH: 211)
· Rasa bingungku makin mantab ketika di sekolah, pada suatu hari, aku bertanya kepada bapak guru: “Bapak mengatakan Tuhan itu tak mungkin lebih dari satu. Bapak ibaratkan dengan kapal. Kapal nahkodanya lebih dari satu, maka akan perang dan kapal tak tentu arah,…” (BH: 213) · “Di sekolah tingkat lebih lanjut, aku juga bertanya : “ Nabi bilang surge ialah segala yang di luar banyangan kita. Artinya kalau kita membayangkan sesuatu tentang surga. Pak Guru, jadi kalau begitu Tuhan lebih lagi dong. Ia pasti berada jauh di luar yang kita bayangkan….” (BH: 214) · “Anakku sebutlah nama Tuhan. Sadarlah.” “Aku sadar sesadar-sadarnya. Karenanya dengan bulatnya kesadaran itu aku ingin jawaban di mana Tuhan sebenarnya !” (BH: 217) |
· “Kau harus melihat ke belakang karena ia ada di
belakangmu.”
Aku menoleh lagi ke belakang. “Itu bukan melihat ke belakang.” “Sana kau depan?” kataku sambil menunjuk ke arah depan tubuhku,”jadi sini belakang.” “Bukan. Sana itu timur dan sini barat.” “Persetan! Tapi aku kan menoleh ke belakang?” “Mungkin mungkin. Setiap kali kau hadapkan matamu ke suatu arah, maka arah itu tentu depan. Nah, Tuhan berada di arah yang berlawanan dengan itu.” “Aku akhirnya mulai sadar bahwa ada di dalam kehidupan ini sesuatu yang bisa dimengerti oleh pikiran, tetapi tidak menjawab seluruh ganjalan kegelisahan dalam diriku akan tetapi terus terang lantas bingung. Dengan apa hidup ini dijawab, jika pikiranku tidak menjamin? Sedangkan tiada lain, di dunia ini aku ingin sesuatu yang kongkret. (BH: 213) |
3.2
Analisis
Cerpen ini menjadi objek kajian penelitian yang kami angkat dalam
pembahasan makalah ini.
Cerpen “Di Belakangku” berisikan cerita tentang anak kecil yang sedang
mencari wujud Tuhan. Beragam jawaban dari ibu, bapak, dan guru di sekolah
tak membuatnya puas. Ia terus berlari mencari Tuhan. Tokoh dalam cerpen ini
menggunakan sudut pandang orang pertama, yaitu aku. Tokoh aku kental akan
penggambaran psikologi.
Terkait hal tersebut di atas, maksud yang tersirat dalam cerpen “Di
Belakangku” barang kali Emha Ainun Najib ingin mengajarkan bahwa ada
wilayah yang tak bisa dibereskan dengan mata telanjang semata, tapi ada
mata batin tentang Allah yang Maha Ghaib di luar sedangkan sepanjang
manusia masih bersifat biologis. Dibalik dunia biologis ada hal yang
bersifat sangat rohani.
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari penulisan makalah ini, antara lain:
1. Psikoanalisis merupakan bagian dari kajian psikologi manusia. Salah satu
penemuan besar psikoanalisis yang bisa dilihat gunanya dalam analisis teks
sastra ialah adanya kehidupan tak sadar pada manusia (aspek bawah sadar di
atas). Salah satu tokoh pengemuka teori ini adalah Sigmun Freud. Sigmun
Freud membagi struktur kepribadian manusia menjadi 3 bagian, yaitu id, ego,
super ego.
2. Psikologi pembaca adalah merupakan salah satu jenis kajian psikologi
sastra yang memfokuskan pada pembaca, yang ketika membaca dan
menginterpretasikan karya sastra mengalami berbagai situasi kejiwaan. Yang
menjadi objek kajian dalam psikologi pembaca adalah pembaca yang secara
nyata membaca, menghayati, dan menginterpretasikan karya sastra.
3. Berdasarkan analisis bahwa cerpen dibelakangku karya emha ainun nadjib
berisikan cerita tentang anak kecil yang sedang mencari wujud Tuhan.
4.2.
Saran
1. Mahasiswa
Dengan mengetahui tentang Psikologi pembaca dalam Psikologi sastra, Penulis
harapkan kepada mahasiswa hendaknya agar dapat menggunakan ilmu yang di
dapat dari makalah ini dengan sebaik-baiknya terutama dalam mengajarkan
serta mengaplikasikan pada siswa-siswinya nanti pada saat menjadi seorang
guru.
2. Penulis
Dengan makalah ini penulis hendaknya dapat mengaplikasikan pembahasan
makalah ini dengan sebaik-baikya. agar ilmu-ilmu yang didapat dalam
penulisan makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi dirinya maupun
orang lain, amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Endaswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta:
Media Pressindo.
Irwan B, S.Q. 2012.
http://artikelria.blogspot.co.id
.
Nadjib, Emha Ainun. 2016. BH:Kumpulan Cerpen. Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara.
Suarna, Asria. 2016.
https://sugarspiceentise.wordpress.com/2016/11/03/analisis-psikologi-sastra-dalam-cerpen-angela-karya-budi-darma/
.
Wiyatmi. 2011. Psikologi Sastra. Yogyakarta: Kanwa Publisher.
Komentar
Posting Komentar