MAKALAH BAHASA INDONESIA : Psikologi Sastra
MAKALAH
Penerapan Teori Sigmund Freud
Pada Novel Di Balik Pesona Surga
Mata kuliah : Psikologi Sastra
Dosen pengampu: M. Bayu Firmansyah, M.Pd |
Disusun oleh :
Lailatul Iqrima (15188201066)
Nurul Huda (15188201073)
Muhammad Zainul Arifin (15188201079)
Kharisma Ulil Albab (15188201083)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA/ 2015 C
SEKOLAHTINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANSTKIP PGRI PASURUAN
Jalan Ki Hajar Dewantara No. 27-29Pasuruan
Telp. (0343) 421948 Fax. (0343) 411086
Website: http://
www.stkippgri-pasuruan.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya. Makalah ini dapat terselesaikan dengan
baik yang berjudul “Penerapan Teori Sigmund Freud Pada Novel Di Balik
Pesona Surga”. Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas dari dosen
pengampu mata kuliah Psikologi Sastra, M. Bayu Firmansyah, M.Pd
Dalam penulisan ini terdapat beberapa hambatan yang kami alami. Namun kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik, kami memperoleh referensi dari
beberapa sumber.
Karena keterbatasan kemampuan dalam menyusun makalah, makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, dengan kerendahan hati, kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat kami harapkan.
Pasuruan, 2 Desember 2017
Penyusun
Daftar Isi
Halaman Judul…………………………………………………………………………. i
Kata Pengantar…………………………………………………………………………. ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang……………………………………………………………………… 1
1.2 RumusanMasalah…………………………………………………………………... 2
1.3 Tujuan………………………………………………………………………………. 2
BAB II
TEORI
2.1 Ruang Lingkup Psikologi Pengarang.................…………………………………… 3
2.2 Teori Sigmund
Freud.......................................…………………………………….. 4
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Sinopsis…………………………………………………………………………...... 8
3.2 Id………………………………………………………………………………….... 8
3.3
Ego.............................................................................................................................
10
3.4
Superego....................................................................................................................
10
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan................................................................................................................
12
4.2
Saran..........................................................................................................................
12
DaftarPustaka…………………………………………………………………………... 13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Endraswara (2003:97) psikologi sastra merupakan kajian yang
memandang karya sastra sebagai aktivitas kejiwaan. Dalam arti luas bahwa
karya sastra tidak lepas dari kehidupan yang menggambarkan berbagai
rangkaian kepribadian manusia. Ratna (db alam Albertine, 2010:54)
berpendapat psikologi, khususnya psikologi analitik diharapkan mampu
menemukan aspek-aspek ketaksadaran yang diduga merupakan sumber-sumber
penyimpangan psikologis sekaligus dengan terapinya. Selain itu, teknologi
dengan berbagai dampak negatifnya dan lingkungan hidup merupakan salah satu
sebab utama terjadinya gangguan psikologis. Psikologi sastra tidak
bermaksud memecahkan masalah psikologis. Namun secara definitif, tujuan
psikologi sastra ialah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam
suatu karya.
Psikologi lahir untuk mempelajari kejiwaan manusia, yakni manusia yang ada
di bumi inilah yang menjadi objek penelitian psikologi, sastra lahir dari
masyarakat, pengarang hidup dalam tengah-tengah masyarakat dan pengarang
juga menciptakan karya sastranya termasuk tokoh yang ada didalamnya. Tokoh
yang diciptakan secara tidak sadar oleh pengarang memiliki muatan kejiwaan
yang timbul dari proyeksi pelaku yang ada dalam masyarakat, karya sastra
berupa novel lebih panjang dan terperinci dalam penggambaran tokohnya, oleh
karena itu kejiwaan yang ada dalam novel lebih kental pula. Pendapat yang
sama mengenai kejiwaan tokoh dalam karya sastra, dikemukakan oleh
Ratna(dalam Albertine 2010:54) ialah berpendapat bahwa pada dasarnya
psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah unsur kejiwaan
tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya.
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa saja ruang lingkup psikologi pengarang?
2) Bagaimana teori yang dikemukakan oleh Sigmund Freud?
1.3 Tujuan
1) Untuk mendeskripsikan ruang lingkup psikologi pengarang.
2) Untuk mendeskripsikan teori yang dikemukakan oleh Sigmund Freud.
BAB II
TEORI
2.1
Ruang Lingkup Psikologi Pengarang
Psikologi pengarang merupakan salah satu wialayah psikologi kesenian yang
membahas aspek kejiwaan pengarang sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang
pribadi Wellek & Warren dalam Wiyatmi, (2011:30). Dalam kajian ini yang
menjadi fokus adalah aspek kejiwaan pengarang yang memiliki hubungan dengan
proses lahirnya karya sastra. Seperti yang dikemukakan oleh Hardjana dalam
Wiyatmi, (2011:30) kajian yang berhubungan dengan kejiwaan ‘keadaan jiwa’
sebagai sumber penciptaan puisi yang baik telah dikemukakan oleh
Wordsworth, seorang penyair romantik Inggris pada awal abad sembilan belas.
Penyair adalah manusia lain manusia yang benar-benar memiliki rasa tanggap
yang lebih peka, kegairahan dan kelembutan jiwa yang lebih besar. Manusia
yang memiliki pengetahuan yang lebih mendalam tentang kodrat manusia dan
memiliki jiwa yang lebih tajam dari pada manusia-manusia lain.
Wordsworth dalam Wiyatmi, (2011:30), menjelaskan bahwa “keadaan jiwa”
dengan psikologi khusunya, akan melahirkan pengungkapan bahasa puisi yang
khususnya pula. Pendirian wordswoth mengenai proses penciptaan puisi yang
dikatakannya sebagai pengungkapan alamiah dari perasaan-perasaan yang
meluap-luap, dari getaran hati yang berkembang dalam kesyahduan, juga
menunjukan adannya hubungan antara aspek psikologi dalam proses penciptaan
puisi.
Merujuk pada pengakuan Subagio dan Situmorang dalam Wiyatmi (2011:32),
tampak bahwa karya-karya sastra (puisi) lahir dari seorang penyair yang
sedang berada dalam kondisi kejiwaan tertentu. Aritnya, pemahaman seorang
peneliti terhadap aspek psikologi pengarang dalam konteks ini perlu
dilakukan. Informasi tentang aspek psikologi pengarang , dapat diperoleh
bukan hanya dari yang bersangkutan secara langsung, memulai wawancara,
perbincangan, maupun tulisan atau buku harianya, tetapi seorang peneliti
juga dapat secara langsung bergaul sendiri dan mengamati apa yang terjadi
dan dialami oleh seorang pengarang. Namun, hal ini tentu saja hanya dapat
dilakukan apabila seorang pengarang masih hidup dan sezaman dengan
peneleti.
Informasi tentang aspek kejiwaan pengarang juga didapat dari orang-orang
terdekat seorang pengarang, keluarga maupun sahabat-sahabatnya.
Berdasarkan pengertian, pendapat dan pengakuan proses kreatif Wordsworth
dan Subagio Sastrowardoyo, maka dapat dikemukakan bahwa wilayah kajian
psikologi pengarang antara lain aspek kejiwaan pengarang yang berhubungan
dengan penciptaan karya sastranya, pengalaman individual dan lingkuangan
pengarang, dan tujuan khusunya yang mendorong penciptaan karya sastra.
2.2
Teori Sigmund Freud
Menurut Albertine (2010:11), psikoanalisis adalah disiplin ilmu yang
dimulai sekitar tahun 1900-an oleh Sigmund Freud. Teori psikoanalisis ini
berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mental manusia, serta ilmu ini
merupakan bagian dari psikologi yang memberikan kontibusi besar dan dibuat
untuk psikologi manusia selama ini. Psikoanalisis merupakan sejenis
psikologi tentang ketidaksadaran; perhatian-perhatiannya terarah pada
bidang motivasi, emosi, konflik, sistem neurotik, mimpi-mimpi, dan
sifat-sifat karakter. Menurut Freud (dalam Suryabrata, 2002:3),
psikoanalisis adalah sebuah metode perawatan medis bagi orang-orang yang
menderita gangguan syaraf. Psikoanalisis merupakan suatu jenis terapi yang
bertujuan untuk mengobati seseorang yang mengalami penyimpangan mental dan
syaraf.
Dalam struktur kepribadian Freud, ada tiga unsur sistem yang penting, yakni
id, ego, dan superego. Menurut Bertens (2006:32) istilah lain dari tiga
faktor tersebut dalam psikoanalisis dikenal sebagai tiga “instansi” yang
menandai hidup psikis. Dari ketiga sistem atau ketiga instansi ini satu
sama lain saling berkaitan sehingga membentuk suatu kekuatan atau
totalitas. Maka dari itu untuk mempermudah pembahasan mengenai kepribadian
pada kerangka psikoanalisa, kita jabarkan sistem kepribadian ini.
2.2.1 Id
Menurut Bertens (2006:32-33), id merupakan lapisan psikis yang paling
mendasar sekaligus id menjadi bahan dasar bagi pembentukan hidup psikis
lebih lanjut. Artinya id merupakan sisitem kepribadian asli paling dasar
yakni yang dibawa sejak lahir. Dari id ini kemudian akan muncul ego dan
superego. Saat dilahirkan, id berisi semua aspek psikologik yang
diturunkan, seperti insting, impuls, dan drives. Id berada dan beroperasi
dalam daerah unconscious, mewakili subyektivitas yang tidak pernah disadari
sepanjang usia.
Id berhubungan erat dengan proses fisik untuk mendapatkan energi psikis
yang digunakan untuk mengoperasikan sistem dari struktur kepribadian
lainnya. Energi psikis dalam id itu dapat meningkat karena perangsang, dan
apabila energi itu meningkat maka menimbulkan tegangan dan ini menimbulkan
pengalaman tidak enak (tidak menyenangkan). Dari situlah id harus
mereduksikan energi untuk menghilangkan rasa tidak enak dan mengejar
keenakan. Id beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure
principle), yaitu berusaha memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa
sakit. Bagi id, kenikmatan adalah keadaan yang relative inaktif atau
tingkat energi yang rendah, dan rasa sakit adalah tegangan atau peningkatan
energi yang mendambakan kepuasan. Jadi ketika ada stimulasi yang memicu
energi untuk bekerja timbul tegangan energi, id beroperasi dengan prinsip
kenikmatan, berusaha mengurangi atau menghilangkan tegangan itu,
mengembalikan diri ke tingkat energi rendah. Penerjemahan dari kebutuhan
menjadi keinginan ini disebut dengan proses primer.
Proses primer ialah reaksi membayangkan atau mengkhayal sesuatu yang dapat
mengurangi atau menghilangkan tegangan, dipakai untuk menangani stimulus
kompleks, seperti bayi yang lapar membayangkan makanan atau puting ibunya.
Id hanya mampu membayangkan sesuatu, tanpa mampu membedakan khayalan itu
dengan kenyataan yang benar-benar memuaskan kebutuhan. Id tidak mampu
menilai atau membedakan benar salah , tidak tahu moral. Jadi harus
dikembangkan jalan memperoleh khayalan itu secara nyata, yang memberi
kepuasan tanpa menimbulkan ketegangan baru khususnya masalah moral. Alasan
inilah yang kemudian membuat id memunculkan ego.
2.2.2 Ego
Ego adalah aspek psikologis daripada kepribadian dan timbul karena
kebutuhan organisme untuk berhubungan secara baik dengan dunia kenyataan
atau realita (Freud dalam Suryabrata2010:126). Ego berbeda dengan id.
Menurut Koeswara (1991:33-34), ego adalah sistem kepribadian yang bertindak
sebagai pengaruh individu kepada objek dari kenyataan, dan menjalankan
fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Menurut (Freud dalam Bertens
2006:33), ego terbentuk dengan diferensiasi dari id karena kontaknya dengan
dunia luar, khususnya orang di sekitar bayi kecil seperti orang tua,
pengasuh, dan kakak adik. Ego timbul karena adanya kebutuhan-kebutuhan
organisme memerlukan transaksi-transaksi yang sesuai dengan dunia realita
atau kenyataan.
Ego adalah eksekutif (pelaksana) dari kepribadian, yang memiliki dua tugas
utama; pertama, memilih stimulus mana yang hendak direspon dan atau insting
mana yang akan dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan. Kedua,
menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengan
tersedianya peluang yang resikonya minimal.
Menurut Bertens (2006:33), tugas ego adalah untuk mempertahankan
kepribadiannya sendiridan menjamin penyesuaian dengan lingkungan sekitar,
untuk memecahkan konflik-konflik dengan realitas dan konflik-konflik antara
keinginan-keinginan yang tidak cocok satu sama lain. Dengan kata lain, ego
sebagai eksekutif kepribadian berusaha memenuhi kebutuhan id sekaligus juga
memenuhi kebutuhan moral dan kebutuhan berkembang mencapai kesempurnaan
dari superego.
Ego sesungguhnya bekerja untuk memuaskan id, karena itu ego yang tidak
memiliki energi sendiri akan memperoleh energi dari id. Untuk itu sekali
lagi memahami apa yang dimaksudkan dengan proses sekunder, perlu untuk
melihat sampai dimana proses primer membawa seorang individu dalam pemuasan
keinginan, sehingga dapat diwujudkan dalam sebuah kenyataan. Proses
sekunder terdiri dari usaha menemukan atau menghasilkan kenyataan dengan
jalan suatu rencana tindakan yang telah dikembangkan melalui pikiran.
2.2.3 Superego
Menurut Bertens (2006:33-34), superego dibentuk melalui internalisasi
(internalization), artinya larangan-larangan atau perintah-perintah yang
berasal dari luar (para pengasuh, khususnya orang tua) diolah sedemikian
rupa sehingga akhirnya terpancar dari dalam. Dengan kata lain, superego
adalah buah hasil proses internalisasi, sejauh larangan-larangan dan
perintah-perintah yang tadinya merupakan sesuatu yang “asing” bagi si
subyek, akhirnya dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari subyek sendiri,
seperti “Engkau tidak boleh…atau engkau harus…” menjadi “Aku tidak
boleh…atau aku harus…”. Menurut Freud (dalam Suryabrata, 2010:127) superego
adalah aspek sosiologi kepribadian, merupakan wakil dari nilai-nilai
tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua
kepada anak-anaknya yang dimasukkan dengan berbagai perintah dan larangan.
Superego lebih merupakan kesempurnaan daripada kesenangan. Oleh karena itu,
superego dapat pula dianggap sebagai aspek moral kepribadian. Fungsinya
yang pokok ialah menentukan apakah sesuatu benar atau salah, pantas atau
tidak, susila atau tidak, dan dengan demikian pribadi dapat bertindak
sesuai dengan moral masyarakat.
Superego adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian, yang beroperasi
memakai prinsip idealistic sebagai lawan dari prinsip kepuasan id dan
prinsip realitik dari ego (alwisol,2004:21). Superego bersifat nonrasional
dalam menuntut kesempurnaan, menghukum dengan keras kesalahan ego, baik
yang telah dilakukan maupun baru dalam fikiran. Superego dalam hal
mengontrol id, bukan hanya menunda pemuasan tapi merintangi pemenuhannya.
Fungsi utama dari super ego yang dihadirkan antara lain adalah: 1. Sebagai
pengendali dorongan atau impuls-impuls naluri id agar impuls-impuls
tersebut disalurkan dengan cara atau bentuk yang dapat diterima oleh
masyarakat, 2. Untuk mengarahkan ego pada tujuan yang sesuai dengan moral
ketimbang dengan kenyataan, 3. Mendorong individu kepada kesempurnaan.
Superego senantiasa memaksa ego untuk menekan hasrat-hasrat yang berbeda ke
alam sadar. Superego bersama dengan id, berada di alam bawah sadar (Hall
dan Lindzey, 1993:67-68). Jadi superego cenderung untuk menentang, baik ego
maupun id, dan membuat dunia menurut konsepsi yang ideal. Ketiga aspek
tersebut meski memiliki karakteristik sendiri-sendiri dalam prakteknya,
namun ketiganya selalu berinteraksi secara dinamis.
BAB III
PEMBAHASAN
Sinopsis Novel Di Balik Pesona Surga
Andi berkelana mendalami agama. Berbagai organisasi keagamaan ternama di
Indonesia pernah ia ikuti. Akhirnya ia menemukan pesantren yang memberikan
pemahaman dan konsep yang menjanjikan surga. Demi mendapatkan surga, ia
rela meninggalkan orangtua, meninggalkan pekerjaan sebagai PNS, membuang
kesempatan beasiswa belajar ke luar negeri dan memboyong keluarganya jauh
dari kota kelahiran pindah ke bekasi, bergabung dengan pesantren Al Huda.
Id
“Aku melamun betapa lahapnya makan berlauk tumis dipadu dengan ikan asin
digoreng kering, kriuk saat nanti makan malam seusai berbuka.” ( DBPS: 27)
Tokoh aku melamun betapa enaknya makan masakan mbak Emi setelah ia mencium
aroma masakan mbak Emi, tokoh aku hanya berpikir tentang makanan tersebut,
tokoh aku belum melakukan tindakan apapun.
“Di sepanjang perjalanan, aku berpikir antara melamar menjadi guru SD
Muhammadiyah atau tidak. Kalau melamar, aku biasa hidup di lingkungan NU,
dan kalau tidak melamar, ini suatu kesempatan untuk mengabdi dan mendapat
honor bisa untuk tambahan bayar kuliah.” (DBPS: 33)
Tokoh aku mengalami konflik batin ketika dihadapkan oleh dua pilihan,
antara kesempatan untuk mengajar di SD Muhammadiyah atau menghiraukan
kesempatan tersebut karena tokoh aku biasa tinggal di lingkungan NU.
“Terjadi konflik batin yang sulit kuselesaikan. Aku pusing tujuh keliling
antara memilih peningkatan karier di PNS atau memilih di tempat lain yang
menjanjikan dan agamis. Kutak bisa tidur semalaman untuk menentukan
pilihan.” (DBPS:44)
Tokoh aku mengalami konflik batin ketika ia harus memilih antara pergi
belajar ke luar negeri, atau melamar menjadi guru di pesantren Al Huda.
Jika ia pergi belajar ke luar negeri, hal itu dapat meningkatkan kariernya
sebagai seorang PNS, tapi jika ia memilih untuk menjadi guru di pesantren
Al Huda maka hilang kesempatan belajar ke luar negeri dan peningkatan
kariernya sebagai PNS.
“Aku penasaran kenapa aku dipanggil. Aku mengandai-andai. Aku mengira akan
mendapat boboko khusus karena telah memimpin acara atau mendapat
amplop berisi kartini merah dengan lima nol di belakangnya.” ( DBPS: 64)
Tokoh aku membayangkan bahwa dirinya akan mendapat boboko khusus atau
amplop yang berisi sejumlah uang karena ia telah memimpin acara tasyakuran
yang diadakan di pesantren Al Huda
“Aku sadar, terlambat datang adalah sebuah kesalahan. Aku mengakuinya.
Namun, apakah harus begitu memperlakukanku di depan umum, di hadapan orang
banyak? Tidak adakah cara yang lebih bijak untuk mengingatkan dan
menegurku?”(DBPS: 73)
Tokoh aku menggumam atau berbicara pada dirinya sendiri perihal apa yang
dilakukan pak kyai terhadapnya, menurut tokoh aku tindakan pak kyai tak
seharusnya bertindak seperti itu.
“Lagi-lagi aku bertanya dalam hati, beginikah cara Rasulullah Muhammad
menegur sahabatnya ketika melakukan kesalahan? Padahal bukan aku yang
salah. Harusnya Abu Lamis bertanya kepada inspektur pertandingan.” ( DBPS: 81)
Tokoh aku berbicara dan bertanya dalam hati, benarkah teguran yang
dilakukan pak kyai kepadanya, menurut tokoh aku, pak kyai langsung menegur
tokoh aku tanpa bertanya terlebih dahulu apa yang sebenarnya terjadi.
“Dalam hati aku bergumam kenapa dipasangkan dengan dia. Sebenarnya
dipasangkan dengan siapa saja aku siap. Namun, kalau dengan orang yang satu
ini, aku khawatir di tengah perjalanan terjadi yang berujung tidak baik.”
(DBPS: 84)
Tokoh aku bergumam dalam hati kalau dia takut terjadi apa-apa jika
dipasangkan dengan Abu Lamis sekalipun dia mau dipasangkan dengan siapa
saja.
“Usai mandi, kubersantai di kursi sofa. Kejadian sore tadi masih mengiang
dan menggangu pikiranku. Aku juga masih terbayang dengan sikap Abu Lamis
yang sakit hati atas perkataanku karena aku tersinggung sikapnya yang
berlagak sok pimpinan.” (DBPS:90)
Tokoh aku membayangkan kejadian yang sudah terjadi tentang sikap Abu Lamis
yang sikapnya berlagak sok pimpinan. Dan dia merasa sakit hati karena sikap
Abu Lamis.
Ego
“Rasa penasaran membuat hasratku mengikuti pengajian ini menggebu-gebu. Aku
terpaksa mengganti jadawal les privatku. Ahad sore jam 15.00, harusnya aku
mengajar bahasa Inggris kepada dua siswa SMP Santa Maria Kebraon Karang
Pilang Wonokromo. Untunglah mereka mau menukar jadwalnya ke hari lain.” ( DBPS: 38)
Tokoh aku lebih mementingkan keinginannya untuk mengikuti pengajian, dan
mengganti jadwal les privat demi pengajian itu. Jadi tokoh aku lebih
mengedepankan egonya daripada tanggungjawab dan kewajibannya.
“Seluruh pelamar diminta datang ke yayasan untuk mengikuti ujian seleksi.
Dua ujian yang harus diikuti, wawancara dan tulis. Selama proses seleksi,
aku minta izin kepada kepala sekolahku dengan alasan menjenguk saudara di
luar pulau.”(DBPS: 45)
Tokoh aku sengaja berbohong kepada kepala sekolahnya dengan izin pergi
menjenguk saudara di luar pulau, padahal sebenarnya tokoh aku hendak
menjalani ujian seleksi di pesantren Al Huda. Tokoh aku memiliki ego besar
sampai-sampai berani berbohong kepada atasannya demi kepentingan pribadi.
Super ego
“Kuputuskan untuk melamar sebagai guru SD Muhammadiyah Kedurus. Kutulis
surat lamaran dan langsung kuantar kepada kepala sekolah yang rumahnya di
Bogangin. Kedatanganku tepat. Pihak sekolah belum mendapatkan guru yang
dibutuhkan.” (DBPS: 33)
Tokoh aku memutuskan untuk mendaftar menjadi guru di SD Muhammadiyah untuk
menambah penghasilannya sebagai tambahan membayar kuliah.
“Beruntung aku tidak dipecat. Aku minta maaf atas kesalahanku dan siap
untuk memperbaiki. Sehari kemudian aku mencari referensi bacaan sholat yang
biasa dibaca oleh warga Muhammadiyah. Kusampaikan perbaikan dan kegiatan
mengajarku berjalan seperti biasa.” (DBPS: 35)
Tokoh aku sadar bahwa telah melakukan kesalahan meskipun tidak disengaja,
dan siap untuk bertanggungjawab dengan memperbaiki kegiatan mengajarnya
“Sejak peristiwa itu, aku menjadi tidak enak dengan kepala sekolah meskipun
ia tidak menegur atau memecatku. Aku merasa memikul beban yang berat karena
terjadi perang batin antara terus dan berhenti. Akhirnya untuk menjaga
kredibilitas sekolah, aku mengundurkan diri, berhenti mengajar di sekolah
ini.” (DBPS: 35)
Tokoh aku memilih untuk berhenti mengajar di SD Muhammadiyah demi kebaikan
kredibilitas sekolah tersebut. Tokoh aku memutuskan pilihan ini dengan
memikirkan kebaikan SD Muhammadiyah
“Aku tidak mau bertengkar dengannya. Dari pada aku ribut, lebih baik aku
diam. Kutinggalkan Abu Lamis dan aku kembali duduk di kursi semula.
Kuberkata kepadanya bahwa aku bukan panitia. Maksudku panitia bagian
penetapan waktu. Ia tersinggung dan emosi.” (DBPS: 79)
Tokoh aku lebih memilih diam dan kembali ke tempat duduknya daripada
menanggapi Abu Lamis. Apa yang dilakukan tokoh aku tidak lain agar ia tidak
bertengkar dengan Abu Lamis.
“Aku kebagian sebagai koordinator akomodasi bersama Abu Lamis. Dari awal
aku kurang nyaman,tapi aku bisa meredamnya. Aku berupaya menyesuaikan dan
menjalankan tugas sebaik-baiknya.” (DBPS: 84)
Tokoh aku merasa kurang nyaman menjalankan tugas dengan Abu Lamis, namun ia
mengesampingkan egonya dan berusaha menyesuaikan diri dengan Abu Lamis agar
dapat menjalankan tugas dengan baik.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pengarang menggambarkan seorang tokoh
utama sebagai sebuah pribadi. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan novel
“Di Balik Pesona Surga” di atas.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.1.1 Dalam kajian Psikologi pengarang, yang menjadi fokus adalah aspek
kejiwaan
pengarang yang memiliki hubungan dengan proses lahirnya karya sastra.
4.1.2 Psikoanalisis adalah disiplin ilmu yang dimulai sekitar tahun 1900-an
oleh Sigmund
Freud. Teori psikoanalisis ini berhubungan dengan fungsi dan perkembangan
mental
manusia.
4.2 Saran
Dengan tersusunnya makalah ini diharapkan mahasiswa atau masyarakat umum
lebih mengetahui tentang riang lingkup psikologi pengarang dan teori
psikoanalisis Sigmund Freud
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Wiyatmi. 2011. Psikologi Sastra. Yogyakarta: Kanwa Publisher.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode penelitian psikologi sastra.
Yogyakarta: MedPress
INTERNET
Komentar
Posting Komentar