MAKALAH BAHASA INDONESIA : psikologi sastra
Mata Kuliah : Psikologi Sastra
Dosen Pembimbing : M. Bayu Firmansyah, M.Pd
Dosen Pembimbing : M. Bayu Firmansyah, M.Pd
OLEH
KELOMPOK 3
1. Aun Helin dalin
2. Ika Maya Sagita
3. Luluk Mukaromah
4. Lailatul Azizah
5. Ismawati
6. Alif tiyanto
7. A.Zainur rofiki
8. Siti Anisah
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
Jl. Ki Hajar Dewantara 27 – 29
PASURUAN
KATA
PENGANTAR
Puji
Syukur kita panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, atas
rahmat dan karunia-Nya, Tugas makalah ini dapat terselesaikan dengan
baik dengan judul “Psikologi
Pembaca ”. Dengan membuat tugas makalah ini kami berharap, kita semua mampu Memahami Psikologi
pembaca dalam psikologi sastra.
Dalam
penulisan ini terdapat hambatan yang dialami penulis. Namun penulis dapat menyelesaikan tugas
makalah dari berbagai bimbingan serta bantuan dari beberapa pihak. untuk itu
penulis mengucapkan terimah kasih kepada :
1.
Bapak BAYU FIRMANSYAH, M.Pd selaku Dosen yang mengajar materi Psikologi
sastra
2.
Kedua Orang tua yang telah memberi motivasi.
3. Serta Teman-teman STKIP – STIT PASURUAN yang
telah membantu kita.
Karena
keterbatasan kemampuan dalam menulis tugas makalah masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu dengan kerendahan hati semua kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Harapannya semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.
Pasuruan,
04 Oktober 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
……………………………………………………………….
KATA PENGANTAR………………………………………………………….....
DAFTAR ISI…………………………………………………………………..…
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang…………………………………………………………………......1
1.2
Rumusan Masalah………………………………………………………………….2
1.3
Maksud dan tujuan ………………………………………………………………..
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Psikologi Pembaca………………………………………………………
2.2 Daya Psikis Keras dan
Lunak....................................................................................
2.3 Resepsi dan Kebebasan Tafsir
Psikologis..............………………………………....
2.4
Eksperimental Estetik Pembaca Sastra......................................................................
2.5
Tipologi Psikis
Pembaca...........................................................................................
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan ........................................................................................... …………….I
3.2
Saran ..................................................................................................... …………....II
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Manusia dijadikan objek sastrawan sebab
manusia merupakan gambaran tingkah laku yang dapat dilihat dari segi
kehidupannya. Tingkah laku merupakan bagian dari gejolak jiwa sebab dari
tingkah laku manusia dapat dilihat gejalagejala kejiwaan yang pastinya berbeda
satu dengan yang lain. Pada diri manusia dapat dikaji dengan ilmu pengetahuan
yakni psikologi yang membahas tentang kejiwaan. Oleh karena itu, karya sastra
disebut sebagai salah satu gejala kejiwaan (Ratna, 2004: 62). Karya sastra yang
merupakan hasil dari aktivitas penulis sering dikaitkan dengan gejala-gejala
kejiwaan sebab karya sastra merupakan hasil dari penciptaan seorang pengarang
yang secara sadar atau tidak sadar menggunakan teori psikologi.
Dasar penelitian psikologi sastra antara lain
dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra
merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada
situasi setengah sadar atau subconcious
setelah jelas baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar (conscious). Antara sadar dan tak
sadar selalau mewarnai dalam proses imajinasi pengarang. Kekuatan karya sastra
dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan
yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta sastra. Kedua, kajian psikologi sastra
disamping meneliti perwatakan tokoh secara psikologi juga aspek-aspek pemikiran
dan perasaan ketika menciptakan karya tersebut (Endraswara, 2003: 26).
Psikologi sastra adalah sebuah
interdisiplin antara psikologi dan sastra. Mempelajari psikologi sastra
sebenarnya sama halnya dengan mempelajari manusia dari sisi dalam. Daya tarik
psikologi sastra adalah pada masalah manusia yang melukiskan potret jiwa. Tidak
hanya jiwa sendiri yang muncul dalam sastra, tetapi juga bisa mewakili jiwa
orang lain (Endraswara, dalam Minderop 2010, hal.14).
Dua hal dasar penelitian psikologi sastra
tersebut merupakan aspek psikologi pengarang, sehingga kejwaan dan pemikiran
pengarang sangat mempengaruhi hasil dari karya sastra tersebut. Pengarang dalam
menuangkan ide-idenya ke dalam karyanya terkadang terjebak dalam situasi tak
sadar atau halusinasi yang dapat membelokan rencana pengarang semula.
Sastra sebagai gejala kejiwaan didalamnya
terkandung fenomena-fenomena yang terkait dengan psikis atau kejiwaan. Dengan
demikian, karya sastra dapat didekati dengan menggunakan pendekatan psikologi.
Hal ini dapat diterima, karena antara sastra dan psikologi memiliki hubungan
yang bersifat tak langsung dan fungsional (Jatman dalam Aminuddin, 1990: 101).
Penelitian psikologi sastra merupakan sebuah penelitian yang menitikberatkan
pada suatu karya sastra yang menggunakan tinjauan tentang psikologi. Psikologi sastra dapat mengungkapkan
tentang suatu kejiwaan baik pengarang, tokoh karya sastra, maupun pembaca karya
sastra. Penelitian psikologi sastra membutuhkan kecermatan dan ketelitiaan
dalam membaca supaya dapat menemukan unsur-unsur yang mempengaruhi kejiwaan.
Perbedaan gejala-gejala kejiwaan yang ada
dalam karya sastra adalah gejala kejiwaan dari manusia-manusia imajiner,
sedangkan dalam psikologi adalah gejala kejiwaan pada manusia riil (Endraswara,
2003: 97). Antara psikologi dan sastra akan saling melengkapi dan saling
berhubungan sebab hal tersebut dapat digunakan untuk menemukan proses
penciptaan sebuah karya sastra. Psikologi digunakan untuk menghidupkan karakter
para tokoh yang tidak secara sadar diciptakan oleh pengarang.
Menurut Wellek dan Warren (1995: 91)
psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan, yakni 1) studi psikologi
pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, 2) studi proses kreatif, 3) studi
hukum psikologi dan sastra memiliki hubungan yang fungsional yakni sama-sama
mempelajari keadaan jiwa seseorang dan 4) mempelajari dampak sastra pada
pembaca. Karya sastra dipandang sebagai fenomena psikologis sebab menampilkan
aspek kejiwaan yang digambarkan melalui tokoh dan menjadikan manusia sebagai
penggerak jiwa.
Tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami
hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu (1) memahami unsur-unsur
kejiwaan pengarang sebagai penulis, (2) memahami unsur-unsur kejiwaan
tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, (3) memahami unsur-unsur kejiwaan
pembaca (Ratna, 2004: 343). Berdasarkan penelitian ini cara yang digunakan
untuk menghubungkan psikologi dan sastra adalah memahami unsur-unsur kejiwaan
tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra. Menganalisis tokoh dalam karya sastra
dan perwatakannya seorang pengkaji sastra juga harus berdasarkan pada teori dan
hukum-hukum psikologi yang menjelaskan perilaku dan karakter manusia. Teori
psikologi yang sering digunakan dalam melakukan penelitian sebuah karya sastra
adalah psikoanalisis yang dikemukakan oleh Sigmun Freud.
Endraswara mengemukakan bahwa ada tiga cara
untuk memahami teori psikologi sastra yakni, pertama, melalui pemahaman
teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap suatu karya sastra.
Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek
penelitian, kemudian teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk
digunakan. Ketiga, secara simultan menemukan teori dan objek penelitan. Teks
yang ditampilkan melalui teknik dalam teori sastra dapat mencerminkan suatu
konsep dari psikologi yang diusung oleh tokoh fiksional. Tanpa kehadiran
psikologi sastra dengan berbagai acuan kejiwaan, kemungkinan pemahaman sastra
akan timpang (dalam Minderop, 2010, hal.59).
Endraswara mengungkapkan bahwa
kecerdasan sastrawan yang sering melampaui batas kewajaran mungkin bisa
dideteksi lewat psikologi sastra (dikutip Minderop, 2010, hal.56). Untuk
menganalisa gejala traumatik dari tindakan sekuhara yang dialami oleh tokoh
Shiiba Ayumu dalam komik Life,
penulis menggunakan pendekatan psikologi untuk mengetahui bahwa tokoh Shiiba
Ayumu mengalami gejala traumatik akibat dari tindakan sekuhara. Oleh karena itu, dibutuhkan psikologi sastra untuk
meneliti tentang kejiwaan sang tokoh
1.2
Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Psikologi pembaca ?
2. Bagaimana Daya Psikis Keras dan Lunak?
3. Bagaimana Resepsi dan Kebebasan Tafsir Psikologis?
4. Apa Saja Eksperimental Estetik Pembaca Sastra?
5. Apa Saja Tipologi Psikis Pembaca?
1.3
Tujuan
1. Untuk Mendeskripsikan pengertian
Psikologi pembaca.
2. Untuk Mendeskripsikan Daya Psikis Keras dan Lunak.
3.
Untuk Mendeskripsikan Resepsi dan
Kebebasan Tafsir Psikologis.
4. Untuk Mengetahui
Eksperimental Estetik Pembaca Sastra.
5. Untuk Mengetahui
Tipologi Psikis Pembaca.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Psikologi Pembaca
Psikologi pembaca merupakan salah
satu jenis kajian psikologi sastra yang memfokuskan pada pembaca, yang ketika
membaca dan menginterpretasikan karya sastra mengalami berbagai situasi
kejiwaan. Yang menjadi objek kajian dalam psikologi pembaca adalah pembaca yang
secara nyata membaca, menghayati, dan menginterpretasikan karya sastra.
Sebagai manusia yang memiliki aspek
kejiwaan, maka ketika membaca, menghayati, dan menginterpretasikan karya sastra
yang dibacanya, pembaca akan mengadakan interaksi dan dialog dengan karya
sastra yang dibacanya. Karena memiliki jiwa, dengan berbagai rupa emosi dan
rasa, maka ketika membaca sebuah novel atau menonton sebuah pementasan drama,
kita sangat mungkin ikut bersedih, gembira, jengkel, bahkan juga menangis
karena tersentuh oleh pengalaman tokoh-tokoh fiktif.
Seperti dikemukakan oleh Iser (1979)
bahwa suatu karya sastra akan menimbulkan kesan tertentu pada pembaca.
Kesan ini didapat melalui hakikat yang ada pada karya itu yang dibaca oleh
pembacanya. Dalam proses pembacaan ini aka ada interaksi antara hakikat karya
itu dengan teks luar yang mungkin memberikan kaidah yang berbeda. Bahkan dapat
dikatakan bahwa kaidah dan nilai teks luar akan sangat menentukan kesan yang
akan muncul pada seseorang sewaktu membaca sebuah teks, karena fenomena ini
akan menentukan imajinasi pembaca dalam membaca teks itu.
Ketika membaca kutipan puisi
Peringatan karya Wiji Thukul berikut ini, seorang pembaca akan segera mengenal
hakikat sebuah puisi yang antara lain ditandai oleh adanya tipografi dan
larik-larik yang khas. Kemudian setelah membaca isi yang disampaikan dalam
puisi itu, pembaca akan menemukan bahwa puisi tersebut mencoba mengangkat
fenomena yang berhubungan dengan sikap rakyat (Indonesia) yang cenderung apatis
terhadap program-program yang dijalankan pemerintah pada masa yang berhubungan
dengan konteks puisi itu, tahun 1980-an (sesuai dengan titi mangsa puisi itu
ditulis), masa Orde Baru.
PERINGATAN
jika rakyat
pergi
ketika penguasa
pidato
kita harus
hati-hati
barangkali
mereka putus asa
.
kalau rakyat
sembunyi
dan
berbisik-bisik
ketika
membicarakan masalahnya sendiri
penguasa
harus waspada dan belajar
mendengar
.
bila rakyat
tidak berani mengeluh
itu artinya
sudah gawat
dan bila
omongan penguasa
tidak boleh
dibantah
kebenaran
pasti terancam
.
apabila usul
ditolak tanpa ditimbang
suara
dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh
subversif dan mengganggu
keamanan
maka hanya
ada satu kata: lawan!
.
Solo, 1986
Karya: Wiji
Thukul
.
Setelah membaca puisi tersebut,
seorang pembaca yang merasakan situasi sosial politik Indonesia 1980-an yang
carut marut, mungkin akan mendapatkan kesan dari puisi tersebut bahwa apa yang
disampaikan dalam puisi tersebut merupakan menyuarakan kenyataan yang ada.
Selanjutnya, pembaca sangat mungkin juga akan memberikan sikap yang sama dengan
sikap manusia-manusia imajiner yang digambarkan dalam puisi itu dan sikap sang
penyair.
Di samping itu, dalam hubungannya
dengan pembaca, ada jenis-jenis karya sastra tertentu yang dipilih dan disukai
oleh suatu kelompok pembaca, tetapi ditolak atau tidak disukai oleh kelompok
pembaca yang lain. Artinya, kita dapat melihat adanya hubungan antara karya
sastra dengan selera pembaca. Dengan latar belakang usia, perkembangan
psikologis, pengalaman, dan pendidikan tertentu seseorang akan lebih memilih
karya sastra dengan isi dan teknik penyajian (aliran kesastraan) tertentu.
Pembaca remaja, misalnya lebih
memilih karya sastra yang bercerita seputar kehidupan remaja dari pada karya
sastra yang menggambarkan renungan filosofis tentang hakikat kehidupan,
misalnya. Demikian pula pembaca yang lebih dewasa, mungkin sudah tidak akan
lagi tertarik pada karya sastra remaja, tetapi karya sastra yang mengangkat
persoalan filosofi kehidupan atau pun berlatar belakang aspek-aspek sosial
budaya kemasyarakatan yang lebih luas. Novel yang beraliran ghotik (misteri),
bertema dunia hantu atau pun detektif akan memiliki kelompok pembaca yang
berbeda dengan novel sastra yang tertema absurd.
Dengan menggunakan perspektif
psikologi sastra, maka dari artikel di atas kita mendapatkan gambaran bagaimana
jenis sastra tertentu (novel dan cerita pendek), dengan tema tertentu (fenomena
seksualitas), dan cara penggambaran atau teknik penceritaan yang dianggap
vulgar telah mendapatkan tanggapan, sikap, dan kesan, yang berbeda-beda pada
pembacanya. Ada komunitas yang membaca, menikmati, dan membelanya, tetapi ada
juga yang menghujatnya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap karya sastra yang ada
memiliki komunitas pembaca sendiri, di samping melahirkan sikap dan tanggapan
yang berbeda-beda dari pembacanya.
2.2. Daya Psikis Keras dan Lunak
Agak
sulit untuk menemukan istilah yang tepat untuk mewadahi konteks psikologi
sastra yang terkait dengan respirasi pembaca terhadap sastra. Wilayah psikologi
yang berhubungan dengan pembaca memang masih pelik. Ada yang berpendapat,
wilayah ini sebenarnya bukan studi sastra, melainkan penelitian pembaca.
Pendapat ini tampaknya juga sulit di pertanggung jawabkan, sebab sebagaimanapun
pembaca adalah bagian dari kutub sastra.
Resepsi
pembaca secara psikologis pasti akan terjadi, dibandingkan resepsi yang lain.
Penerimaan nilai sastra biasanya justru berasal dari aspek psikologis. Dengan
modal kejiwaan, karya sastra akan meresap secara halus dalam diri pembaca. Oleh
sebab itu pembaca yang bagus tentu mampu meneladani aspek-aspek penting dalam
sastra. Nilai-nilai dalam sastra yang mampu membentuk sikap dan perilaku, akan
diinternalisasikan dalam diri pembaca.
Sastra
dalam konteks pembaca akan berpengaruh cepat dan lambat. Pengaruh cepat
merupakan daya keras, spektakuler, dan menantang sehingga pembaca spontan
berubah sikap dan wataknya. Mungkin pula pembaca akan menirukan
gerakan-gerakan, siulan-siulan, dan model-model yang di tawarkan dalam sastra.
Sebaliknya, sastra juga dapat secara lambat menyuarakan daya tertentu, tetapi
tetap pasti. Meskipun daya serap pembaca lunak, lembut, namun tetap pengaruh
sastra semacam ini sering sulit hilang (nabet)
Cukup
unik jika sastra telah tersuguh di hadapan pembaca. Konsep Holland (wright,
1991:149) menyebutkan bahwa ada kemungkinan terjadi “kolusi” estetis antara
pengarang dengan pembaca. Ekspresi yang amat rahasia biasanya disimpan halus
oleh pengarang. Dalam suasana itu, jika terjadi kolusi, pembaca dapat memprotes
apa saja yang tergambar dalam sastra. Yang menarik disimak lagi adalah kategori
pembaca yang sebaliknya, yaitu sekedar ingin rekreasi jiwa pada waktu membaca
sastra. Kalusi dapat terjadi baik sastra dalam ranah kreatif, maupun tujuan
lain.
Untuk
memahami bagaimana resepsi psikis dapat terjadi dalam proses komunikasi sastra,
dapat di cermati gagasan Holland menempatkan sastra sebagai sebuah pengalaman
(bukan sebagai bentuk komunikasi, sebagai bentuk ekspresi, atau sebagai karya seni).
Pokok perhatiannya adalah pengalaman pembaca yang di pengaruhi oleh sastra.
Setelah membaca sastra, pembaca akan terlibat didalamnya. Akibatnya, dapat
terjadi jiwa pembaca juga terpengaruh jiwa sastra. Menurut dia, semua karya
sastra mentransformasikan fantasi-fantasi tak sadar (menurut psikoanalisis)
kepada makna-makna kesadaran yang dapat di temukan dalam interpretasi
konvensional. Jadi, makna psikoanalisis harus dicari karena tingkatan makna
lain hanyalah manifestasi atau sosial. Gagasan ini memang bukan hal baruu,
karena sebelumnya freud telah banyak berkomentar tentang psikoanalisis.
Bagi
Holland, sastra memiliki efek relief (pembebasan)
sehingga akhir dari semua analisis seni adalah a comfort (sesuatu kesenangan hidup). Kesenangan hidup di peroleh
melalui ‘pelepasan’. Sekalipun karya sastra membuat perasaa kita sakit,
bersalah, atau cemas, perasaan-perasaan itu (yang sesungguhnya hanyalah fantasi
belaka) kita terima dan kita kuasai sedemikian rupa untuk menjadi pengalaman
yang menyenangkan. Gagasan bahwa sastra akan menimbulkan kenikmatan, muncul
sebagai akibat alternasi ritmik antara “gangguan” dan “penguasaan”. Orang
susah, tetapi puas dan senang adalah efek ketika mambaca sastra. Orang dapat
kecewa psikisnya, tetapi lega karena membaca sastra. Orang dapat kecewa
psikisnya, tetapi lega karena membaca sastra. Dalam proses psikis semacam ini,
berartia ada gelombang estetis yang merambat dari sasta ke psikis pembaca.
Adapun
simon lesser dalam bukunya fiction and
the unconscious (1989), mengembangkan teori emotif melalui model komunikasi
yang memungkinkan dia mendiskripsikan efek-efek relief yang dirasakan pembaca.
Untuk keperluan ini, Lesser memanfaatkan sarana analisis psikoanalisis superego, ego, dan id. Peta
penelitian semacam ini jelas sekali berdampingan dengan gagasan freud. Freudlah
yang menjadi induk proses penelitian psikologi reseptif. Seperti Holland,
Lesser juga beranggapan bahwa sastra memberikan ‘relief’. Akan tetapi, relief
ini hanya memadai bila karya sastra itu memberikan kepuasan yang berbeda-beda
pada suatu kurun waktu yang sama. Konsep demikian jelas berasal dari freu.
Setiap karya yang di baca pada waktu yang sama, mengkin pengaruh psikologisnya
bisa berbeda.
Komponen-komponen
kejiwaan itu harus di tempatkan dalam suatu gerakan (motion). Setiap karya sastra memiliki efek-efek supernego, ego, dan id yang perlu di
refleksikan oleh pembaca. Keterlibatan pembaca kedalam komponen-komponen
kejiwaan itu hanya dapat terpenuhi bila karya sastra mengandung aspek-aspek
yang kontradiktif, ambigu, tumpang-tindih, dan samar, dengan kata lain irama
“konflik” (dalam teks) dan “solusi” (oleh pembaca). Di dalam proses membaca,
pembaca menyusun dan menciptakan cerita dalam imajinasi yang terstruktur.
Cerita itu sendiri bersifat elliptis
(ada sebagiannya yang di hilangkan). Bagian inilah yang harus di hidupkan
dengan pengalaman subjektif masing-masing pembaca, mungkin saja mereka
mengikuti satu konvensi penafsiran yang sama (selden, 1991:127)
Gagasan-gagasan
resepsi psikologis diatas menunjukkan betapa pentingnyaa efek sastra bagi
pembaca. Sastra memiliki daya keras dan lunak dalam kehidupan psikologi
pembaca. Sebagai daya keras, sastra akan mampu mengubah kehidupan pembaca
secara langsungdan cepat. Mungkin, pembaca akan merasa sakit hati,marah, jengkel,
dna tiba-tiba jatuh sakit. Mungkin pula pembaca akan berteriak keras-keras,
setelah membaca sastra. Sebagai daya lunak, sastra akan merambat pelan-pelan ke
dataran psikis pembaca. Pengaruh sastra sedikit demi sedikit, tetapi pasti.
Dalam proses ini bukan mustahil jika pembaca suatu saat akan berubah kiblat
hidupnya.
Tugas
peneliti psikologi sastra dalam kaitan dengan masalah pengaruh dayas sastra
adalah mengikuti aliran daya itu dalam diri pembaca. Mungkin sastra mengikuti
proses keras, cepat, dan secara tiba-tiba menjadikan pembaca berubah total atau
sebagian. Tiba-tiba pembaca secara drastis harus mengubah sikap dan wataknya
hingga orang di sekitarnya terperanjat. Selanjutnya, kemungkinan lain perlu
dikaji adalah pengaruh yang lembut, penuh kearifan, tetapi tetap menjadi
motif kuat dalam jiwa pembaca.
Kemungkinan psikis yang terakhir ini, bisa jadi akan mengubah pandangan hidup
pembaca.
2.3
Resepsi dan Kebebasan Tafsir Psikologis
Resepsi
adalah penerimaan. Penerimaan sastra oleh pembaca bisa berbeda-beda tafsirannya.
Satra ibarat sebuah surat berharga yang dialamatkan kepada penerima pesan.
Namun, dalam sastra ada sejumlah kode-kode psikologis yang bisa memunculkan
persepsi lain. Perbedaan inilah yang menuntut kebebasan tafsir. Tafsir yang
beragam dan prural, akan memperkaya pesan. Tafsir psikologis akan membangkitkan
imajinasi yang berharga. Pembaca bebas bermain imajinasi. Dari situ pula bebas
menciptakan dunianya.
Sastra
setelah lepas dari tangan penulis menjadi hak banyak orang, termasuk pembaca.
Aspek psikis penulis, mungkin bisa di terima berbeda oleh pembaca. Aspek psikis
penulis, mungkin bisa di terima berbeda oleh pembaca. Pembaca sering
berimajinasi lain ketika menyikapi karya sastra. Kondisi kejiwaan pembaca juga
sering kali mempengaruhi daya kritisnya. Bacaan sastra yang sulit, sering
berpengaruh pada efek pembaca. Dalam proses resepsi serupa, saya setuju dengan
gagasan Juass (Newton, 1994:148) bahwa karya sastra ada hanya jika telah
diciptakan kembali (dikonkretkan). Istilah “dikonkretkan” adalah hak pembaca.
Pembaca boleh berbuat apa saja, menganalogikan bacaan dengan dirinya, boleh
menangis, boleh marah, dan seterusnya. Proses konkretisasi itu sebenarnya
proses psikologis.
Untuk
memahami apa yang dilakukan pembaca ketika menyikapi sastra, justru menarik
diungkap. Peneliti psikologi resepsi akan banyak tertantang ketika berhadapan
dengan pembaca kritis. Namun, pembaca yang sekedar bersenang-senang pun perlu
mendapat perhatian. Siapa tau kedua aset pembaca itu memiliki relevansi
psikologis. Dalam kaitan ini, secara sistemati, Junus (1985:94-101) telah
menguraikan betapa pentingnya resepsi pembaca secara psikis. Beberapa
penelitian resepsi dia paparkan secara kritis, khususnya untuk membahas tulisan
segers. Tokoh ini memang boelh dikatakan yang banyak membahas efek sastra
secara psikologis. Meskipun dalam pengakuan beberapa ahli sastra, segers
cenderung ke arah eksperimentasi sastra, namun konsepsinya tetap dapat di
pertahankan. Dalam kaitan ini, segers memberikan beberapa contoh penelitian
yang memiliki presenti psikologi sastra yang lebih berhubungan dengan reaksi
pribadi. Tetapi sayang, menurut pembacaan saya, ia tidak dapat memberikan
hubungan yang pasti anatara resepsi sastra dan psikologi sastra. Bahkan, ia
membiarkan saja terjdinya suatu hal yang mungkin “mengganggu”. Kalau penelitian
di Universitas indiana menyimpulkan bahwa perbedaan penilaian berhubungan
dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman (sastra), maka penelitian
Husson (segers, 76) mengatakan sebaliknya. Mestinya, disini segers
mempersoalkannya.
Dalam
konteks ini, kita perlu terlibat lebih jauh bagaimana sikap segers terhadap
hanson. Yang paling penting adalah peta psikis dalam dunia resepsi patut
dicermati oleh peneliti sastra. Dalam peta tersebut, segers memang orang yang
gemar pada resepsi dan sekaligus melangkah ke evaluasi teks sastra. Dalam
bukunya tentang evaluasi teks sastra , dia juga diam-diam membahas psikologi
sastra. Segers melihat kemungkinan hubungan antara resepsi sastra dan psikologi
sastra dalam hubungan estetika eksperimenter, terutama berhubungan dengan
penelitian D.E Berlyne. Namun, hal ini di pandang lain oleh Junus (1985), yang
menurutnya itu adalah suatu lapangan yang diolah oleh psikologi.
Daya
kritis Junus demikian sah dan dapat dipahami, namun yang terpenting bagi
penelitian psikologis adalah kemampuan memahami resepsi pembaca. Teks-teks
sastra mungkin sekali hanya sederhana, tetapi memiliki pengaruh lebih besar.
Penulis, boleh juga pengucap, yang bekerja merumuskan sesuatu kedalam teks
memusatkan perhatiannya kepada hal-hal tertentu dengan melupakan hal-hal lain.
Perhatiannya hanya mengenai “ketepatan perumusan” berdasarkan hal yang datang
kepadanya pada suatu masa tertentu. Pada suatu saat itu, ia melupakan adanya
kemungkinan lain. Dalam kaitan ini, Junus memberikan contoh dalam hubungan
bahasa. Seseorang mungkin berhadapan dengan persoalan bagaimana merumuskan dua
kalimat ini menjadi suatu kalimat : (a) saya
percaya kepada Tuhan, (b) Tuhan itu satu.
Berdasarkan
proses bahasa melayu yang biasa, maka keduanya dapat dibentuk menjadi suatu
kalimat, yakni saya percaya kepada Tuhan
yang satu. Namun, pembaca yang berhadapan dengan kalimat tersebut mungkin
akan beranggapan bahwa kalimat itu berasal dari proses lain, yang tidak
disadari kehadirannya oleh penulis tadi. Pembaca akan mengalami suatu proses
lain, suatu cognition process. Ia akan menagktifkan pemikirannya berdasarkan
segala kemungkinan bahasa yang dikuasainya. Ia akan menyadari hakikat polisemi
dari konstruksi “Tuhan yang satu”, karena dua arti menyatu dalam satu homonim.
Contoh
yang di berikan diatas merupakan teks yang sama mungkin saja memiliki perbedaan
resepsi, dan bukan tidak mungkin, ketika mengucapkan, orang tidak
“memperhitungkan” kemungkinan berlakunya apa yang dikatakannya. Karena ia
terlampau terikat oleh suatu unsur tertentu. Orang yang pertama kali
mengucapkan pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” tidak
menyadari bahwa orang tidak mungkin kencing selagi berlari. Ia juga tidak akan
menyadari bahwa pepatah itu mempunyai implikasi lain dari yang di pikirkannya.
Ia mungkin berpikir bahwa bila guru kencing duduk, maka murid juga akan kencing
duduk (=mencangkung). Namun, pepatah itu memberikan implikasi lain. Kalau “guru
kencing duduk” maka “murid akan kencing berdiri”, karena ppepatah itu menyarankan
tentang murid yang ‘kurang ajar’, maka murid akan lebih ‘kurang ajar’ lagi,
sedangkan murid akan jadi baik bila gurunya juga baik. Akan tetapi, bila kita
mulai memberikan rasioanl kita terhadapnya, dengan hanya merasionalkan
unsur-unsur yang ada dalam pepatah itu, bukan tidak mungkin kita sampai kepada
kesimpulan yang bertentangan, hal yang sebenranya tidka terpikirkan oleh
penulis/pengucap.
Pembaca
memang bebas sebagai penafsir. Namun, menurut Iser (1988:213) yang paling
esensial adalah bukan hanya mampu meneliti teks sastra sebagai refleksi
kesadaran saja, melainkan sampai ketaksadaran. Teks sastra tidak selalu
berhubungan dengan realitas objektif. Dunia sastra, menurut Ingarden, akan
dilukikan secara intensional. kalimat atau baris dalam sastra selalu bermuatan
makna. Gagasan demikian sebenarnya lebih pada proporsi ingin menyatakan bahwa
wacana sastra memang bersifat terbuka bagi penikmat. Siapa saja boleh berdebat
dan menunjukan alibi. Bagi pembaca sastra yang jitu, tentu akan selektif ppada
permainan kata. Setiap pesan psikologis akan terbungkus rapi dalam bahasa.
Perbedaan peresepsi terhadap wacana sastra, justru memperkaya nilai sastra.
Sastra tak pernah tunggal dalam hal makna. Semakin menyebarkan keragaman makna,
sastra itu di pandang lebih bagus. Inilah tugas reseptor untuk menerka, sampai
ke batas psikis yang tepat.
2.4
Eksperimental Estetik Pembaca Sastra
1.
Reaksi Evaluatif Pembaca
Pembaca
akan bereaksi setelah besentuhan dengan sastra. Setelah membaca, psikisnya
telah terpenuhi berbagai butir reaksi. Reaksi bisa ke arah kontruktif dan
destruktif. Tegasnya, pada saat reaksi itu dilakukan, evaluasi teks akan
terjadi. Evaluasi subjektif maupun objektif bisa dilakukan. Semua tergantung
daya rangsang psikis dalam teks sastra.
Untuk
mempertajam penampilan psikolog resepsi, sekali lagi konsep segers masih tetap
menjadi acuan. Esai-esai tebal dia cukup dijadikan pijakan penelitian psikolgi resepsi.
Dalam buku evaluasi teks sastra, segers (Sayuti, 20072-82)
dengan serius membahas evaluasi teks sastra secara psikologis. Paparan dia
boleh di katakan akan membantu pemahaman psikologi sastra yang terkait dengan
pembaca. Dalam kaitan ini, pembaca adalah bagian dari komunikasi sastra yang
tidak bisa ditiadakan. Tanpa pembaca, secara psikologis, sastra kehilangan
minat
Selanjutnya,
dijelaskan bahwa spikologi sastra meliputi bidang penelitian yang luas, hanya
ada sebagian yang memiliki relevansi dengan penelitian resepsi sastra secara
langsung, yakni penelitian psikologis yang berkenan dengan pernyataan apakah
reaksi interpretatif dan reaksi evaluatif pembaca terhadap teks sastra dapat
diselidiki. Pertanyaan ini memberikan penegasan bahwa penelitian psikologi
sastra dapat menurut dua hal dalam resepsi, yaitu (a) reaksi pembaca, dan (b)
evaluasi pembaca. Pembaca dapat menginterpretasi teks sastra sesuka hati.
Mereka bebas berkomentar, yang penting masuk akal.
Lebih
jelas lagi, perlu dipahami bahwa sosiologi tertarik dalam functioning masyarakat, sementara psikologi tertarik pada functioning human mind ‘pikiran manusia.
Pendapat ini menekankan aspek kejiwaan dalam penelitian aspek psikologi sastra.
Psikologi pembaca juga tidak bisa lepasdari aspek spikis. Psikis pembaca akan
terpantul melalui sikap dan perilaku setelah membaca sastra. Hal ini mempunyai
hal yang kuat dengan metode-metode tentang psikologi sastra. Psikologi sastra
ditandai dengan dengan penelitian terhadap responden yang jumlahnya terbatas. (kira-kira
25 orang) penelitian yang biasanya bercirikan eksperimen, berlangsung dalam
situasi laboraturium, yakini terpisah dari realitas. Jumlah responden sekian
itu, menurut hemat saya, tidak proposional, karena Segers sendiri tidak
memaparkan alasan tajam.
Segers
juga mengetengahkan bahwa cabang psikologi sastra yang paling relevan dengan
penelitian tentang evaluasi dan atau resepsi sastra membentuk bagian disiplin
yang oleh D.E Berlyne diistilahkan dengan experimental
esthetics, ‘estetika esperimental’
sesuai dengan namanya, objek estetika eksperimental tidak hanya teks sastra,
tetapi setiap bentuk seni. Berlyne memberikan estetika eksperimental sebagai
“studi tentang efek-efek motivasional” dari karya-karya seni pada penerimanya.
Konsep penelitian Berlyne tersebut sebenarnya cocok untuk menemukan kesan
pembaca sastra. Eksperimentasi estetik dapat di tentukan secara proporsional.
Karrya yang diambil oleh karya sastrawan terkemuka,seperti Taufik Ismail,
Turiyo Ragil Putra, Iman Budhi Santosa, dan sebagainya. Dengan karya-karya
mereka yang dicoba untuk di eksperimenkan pada pembaca, tentu akan tergambar
jauh kesan yang terlintas.
Oleh
karena itu, saya tidak akan membicarakan studi-studi, seperti yang di lakukan
oleh L.S Vygotsky, The Psichology of art
(1971)’, dan Norma Holland, The Dynamics
of Literary Response (1968), Poems in
Persons (1973), serta Five Readers
Reading (1975). Studi Vygotsky merupakan sebuah penyelidikan ke dalam
lapangan psikologi mengenai dunia yang dipeikan dalam suatu teks sasatra, sementara
terbitan Holland mencangkup wilayah psikoanalisis literar. Beberapa penelitian
yang termasuk buku ini, sayangnya tidak di uraikan secara sistematis. Langkah
kerja yang seharusnya di lakukan dalam studi eksplisit tidak pernah di
tampilka. Oleh sebab itu kita perlu mencari acuan yang sejenis. Faktor motivasi
yang perlu didahulukan dalam penelitian eksperimental estetik sastra ini, yakni
beberapa jauh motivasi pembaca melahap karya satra yang di hadapinya.
Bisa
jadi, pembaca memiliki dorongan yang amat teknis, seperti terdorong oleh faktor
finansial. Dengan membaca, mereka bisa membuat esai yang dikirim ke koran dan
laku dijual. Motivasi material ini sah-sah saja. Disisi lain, ada juga yang
tergerak untuk menemukan gagasan spektakuler dalam sastra. Seluruh alasan bisa
saja di bangun oleh pembaca, yang penting memperkaya psikis mereka.
Dengan
kata lain, efek-efek motivasional mereka terkait oleh hubungan-hubungan
kemiripan dan ketidakmirian, keseuaian dan ketidaksesuaian, keterkaitan dan
ketidakterkaitkan; antara elemen-elemen suatu karya atau karya sastra
keseluruhan dan beberapa bagian dunia diluarnya. Untuk menggunakan istilah itu,
telah diusulkan untuk kemudian mengupayakan dengan lebi baik (Berlyne,1960).
Hal ini berarti bahwa properti-properti kolatif dari pola-pola stimulus
memerankan beberapa bagian. Dalam proses ini, karya sastra yang menjadi
stimulus karena pesan di dalamnya amat menarik. Respon pembaca akan ditentukan
oleh stimulus, baik yang spontan maupun yang berproses.
Berlyne
(Sayuti,2000) mengaku bahwa “properti-properti kolatif, merupakan
properti-properti ‘struktual atau formal’. Akan tetapi, kenyataanya, ia
membatasi pemakaian istilah ‘kolatif’ pada kasus-kasus ketika pola-pola
stimulus membangkitkan perasaan, misalnya novelty
‘kebaruan’, suprisingness
‘keterkejutan’, complexity
‘kemajemukan’, ambiguity
‘ambiguitas’, dan puzzlingness
‘keterteka-tekian’. Istilah kolatif yang diintroduksikan untuk menunjuk
properti-properti tersebut secara kolektif, mengingat kenyataan bahwa untuk
memutuskan betapa baru, mengejutkan, majemuk, dan seterusnya, sebuah pola;
seseorang harus membandingkan informasi dari dua sumber atau lebih.” Akan
tetapi, apabila propertif kolatif merupakan properti struktual dalam pengertian
yang terbatas, istilah “variabel kolatif” masih benra-benar kabur. Sebaliknya,
pandangan Berlyne bahwa properti-properti seni dapat diidentifikasi hanya
dengan referensi pada suatu situasi komunikasi khusus, benar-benar sesuai
dengan pendekatan kita. Tentu saja Berlyne benar ketika menulis bahwa untuk
menentukan tingkan kebaruan, seseorang harus mencatat “ hubungan similaritas
atau disimilaritas antara sesuatu yang dijumpai di mas kini dan dimasa lampau”
(ibid.). penelitian Berlyne sangat besar nilainya, tepatnya karena dia
mengetahui bahwa karya seni tidak berfungsi in
vacuo.
Apapun
alasannya, saya ikut menggarisbawahi bahwa studi eksperimental Berlyne telah
memebrikan sumbangan berharga bagi psikologi pembaca. Aspek psikis pembaca,
seperti aspek terkejut, penuh tanda tanya,ingin kebaruan, dan ingin kebebasan
prural adalah potret keinginan jiwa. Kejiwaan demikian akan dirangsang oleh
karya satra atau seni. Jika ada pembaca atau pemikat yang kaki atau tangannya
bergerak-gerak pada waktu mendengarkan lagu Iwan Fals, Ebiet G. Ade, atau
Manthous, berarti proses psikologis telah terjadi. Begitu pula, pada saat orang
membaca novel atau roman Siti Nurbaya ikut terlibat di dalamnya, berarti telah
terjadi gumpalan psikologis yang luar biasa.
Evaluasi
teks sebagai jalur aspirasi dan reaksi pembaca bisa spontan. Pembaca yang
sukses, tentu akan mengevaluasikan secara psikis terhadap teks. Evaluasi
disadarkan atas motif dan dorongan tertentu. Akibatnya, motivasi akan menduduki
peranan penting pada saat pembaca bergumul dengan teks. Pembaca dapat “menghidupkan”
teks atau sebaliknya “mematikan” teks sastra. Rasa setuju dan tidak setuju akan
muncul dalam benak pembaca. Pembaca kadang-kadang juga hakim psikologis setelah
membaca sastra.
2.
Langkah Kerja Estetik Eksperimental
Sebuah
langkah eksperimental yang di tawarkan Bleich (Pradopo,1991:131) cukup penting
di pegang oleh peneliti psikologi pembaca. Menurut dia, peneliti perlu
menangkap “respon subjektif” pembaca teks. “Respon subjektif” ini akan menjadi
data objektif. Untuk menangkap hal ini dapat di lakukan melalui dua kategori,
yaitu (1) “kejiwaan” spontan membaca terhadapa teks, dan (2) “arti” yang
diatributkan pembaca kepadanya. Tanda petik pada kata jawaban dan arti ini
menunjukan bahwa keduanya adalah yang perlu dilacak. Jawaban pembaca adalah
ekspresi orisinal. Adapun arti harus diinterpretasikan. Itulah pelacakan
eksperimental yang patut dikritisi dalam penelitian.
Berlyne
(1972) mempertahankan bahwa eksperimental bukanlah disiplin normatif yang
meneliti dan menerangkan bagaimana seni “tinggi dan rendah” seharusnya di
bedakan. Dengan demikian, salah satu tugas estetika eksperimental adalah
menyelidiki alasan mengapa seseorang (misalnya si A) menilai suatu karya sastra
secara positif, dan mengapa si B menilai secara negatif. Dalam kaitan ini ada 3
kategori esthetic behavior ‘perilaku estetis’ yang
dimungkinkan menjadi objek estetika eksperimental, yakni seniman yang
menciptakan karya, aktor, penyanyi, dan penari, dan seterusnya yang berperan
sebagai perantara, dan penerima, pendengar, atau pembaca. Kategori terakhir itu
yang pertama yang akan di perhatikan.
Metode
apakah yang tersedia bagi estetika eksperimental? Berlyne (1972) menyusun
perbedaan-perbedaan sebagai berikut: (1) sebagian besar rencana penelitian
telah dioperasikan dengan putusan verbal dalam kaitannya dengan karya-karya
seni; (2) ada juga beberapa metode penelitian yang mengimplikasikan pencatatan
psikologikal, misalnya mereka mencoba mengukur perubahan-perubahan dalam,
aktivitas otak yang elektris ketika subjek sedang melihat film atau mendengarkan
musik, yang mungkin menunjukan perubahan tingkatan perasaan. (3) ada metode
untuk mengukur apa yang disebut non-verbal
overt behavior ‘pelaku non
verbal’, misalnya suatu analisis dapat dibuat tentang pilihan yang dilakukan
subjek terhadap dua karya seni atau lebih, dan waktu yang di butuhkan dalam
setiap pilihan dapat diukur; (4) ada proyek yang tidak memerlukan responden,
tetapi bermaksud menganalisis secara stastistik materi artistik atau artefak,
dengan pemusatan perhatian pada isi atau hubungan antara kelas-kelas elemen.
Dari
langkah atau metode kerja diatas menurut hemat saya bukan mustahil dapat
diterapkan dalam aset satra. Syaa pikir metode yang kedua dan ketiga jauh lebih
simpel dan cocok untuk psikologi pembaca. Penelitian psikologi sastra dapat
menangkap aspek perubahan psikologis pembaca satra dan alasan motivasonal
mebaca sastra. Dalam kaitan ini, representasi psikologis cukup kental
ditampilakan oelh pembaca. Dalam studinya yang terkenal, Practical Criticism (1929), Recards mengumplkan reaksi-reaksi dari
sejumlah mahasiswa undergraduates
universitas di inggris terhadap puisi. Tujuannya adalah pertama, mengenalkan
suatu jenis dokumentasi baru kepada mereka yang tertarik pada buya kontemporer.
Kedua, untuk memberikan teknik baru pada mereka yang ingin memperoleh apa ynag
mereka pikirkan dan rasakan tentang puisi dan mengapa mereka suka atau tidak
suka. Ketiga, meyiapkan cara bagi metode-metode edukasioanal yang lebih efesien
daripada yang kita pakai sekarang dalam mengembangkan perbedaan dan daya untuk
memahami apa yang kita dengar dan baca (Richards, 1929:3). Kegita reaksi
seseorang terhadap puisi merupakan cermin jiwa. Saya memandang ketiganya
penting, dan yang pokok adalah alasan kesan mereka. Alasan psikologis akan
tampak pada ucapan maupun tindakan.
Reaksi-reaksi
siswa dibaca dan diklasifikasikan oleh Rechards berdasarkan kesulitan yang
dihadapi siswa dalam pemahaman puisi. Analisis ini memunculkan sepuluh faktor
yang semuanya menunjukan masalah yang berbeda-beda pada penafsiran puisi oleh
para siswa. Sebagai contoh, faktor semacam itu adalah “imajeri”. Materi Richard
menunjukan bahwa imajeri adlaah sumber kekacauan dari penyimpangan-penyimpangan
kritikal; imaji-imaji yang hidup dalam pikiran tidak perlu memiliki kemiripan
dangan imaji-imaji yang hidup yang sama yang di gerakan oleh baris puisi yang
sama dalam puisi lain. Setting Qatar pun tidak ada kaitannya dengan imaji-imaji
yang ada dalam bentuk penyair (Rechard, 1929:13). Hasil Richards tidak hanya di
bakukan dalam sepuluh kategori itu karena ia juga mampu merealisasikan 3 tujuan
yang disebutkan diatas. Ia membicarakan keadaan budaya sekarang seperti yang di
perlihatkan oleh reaksi-reaksi siswa; ia memberikan bantuan yang dapat
ditawarkan oleh psikologi dengan mengingat putusan-putusan terhadap puisi, dan
ia menunjukkan apa yang dapat dikerjakan dalam pengajaran bahasa inggris untuk
memperbaiki penguasaan bahasa.
Pendekatan
penelitihan Rechards tampaknya lebih menarik daripada hasilnya. Dia adalah
seroarng diantara sarjana yang memandang sastra dari prespektif orientasi
komunikasi. Ia mengombinasikan beberapa konsep dasr teori komunikasi yang oleh
D.E. Berlyne disebut estetika eksperimental. Hasil yang dicapai dalam
eksperimennyaberkisar dari yang agak trivial sampai yang agak jelas. Seperti
yang disimpulkan Hirsch (1968:75), Practical
Criticism, “benar-benar
mendemonstrasikan bahwa tanpa orientasi-orientasi yang membantu, seperti
judul-judul dan atribut-atribut, pembaca mungkin memperoleh konsep-konsep
generik tentang sebuah teks yang luas bedanya, dan konsepsi-konsepsi tersebut
akan membantu pemahaman-pemahaman selanjutnya”.
Bahwa
hasil keseluruhan penelitihan rechards tenyata jelek disebabkan oleh tiga
alasan yang tergabung. Petama, tidak adanya teknik-teknik stastistik yang
canggih, dan yang sekarang ini tersedia seharusnya disebutkan. Rechards telah
terlampau (terpasa) menggunakan metode yang agak subjektif, yaitu analisis isi
(content-analysis). Kedua, ada faktor
reduksi behavioristik terhadap puisi. Rene Wellek (1989:49) dengan seksama
mengamati bahwa dalam tulisna-tulisan Rechards, perbedaan anatara estetika dan
emosi-emosi lain dihilangkan, dan seni serta puisi di kurangi fungsinya dari
sarana untuk “menolakan implus-implus kita’, menjadi alat untuk “terapi
mental”. Ketiga pemilihan responden yang terdiri atas tingkat I dan II dengan
usia rata-rata 18-19 tahun. Hal itu merupakan masalah selera dari pembaca
karena itu menunjukan apa yang terjadi ketika orang yang belum pernah
memilikirkan bahasa yang mereka pergunakan sehari-hari, tiba-tiba diminta untuk
melaporkan dengan tepat pengalaman mereka dengan puisi, dan lebih parah lagi
diminta dalam konteks sebuah asumsi perbedaan puitik.
Dari
langkah dan beberapa kritik Segers terhadap hasil penelitian diatas, dapat saya
cermati bahwa studi psikologis memang membutuhkan pengendapan. Studi psikologis
terhadap pembaca terkait dengan sejumlah hal. Saya sebenarnya juga tidak sependapat
bahwa studi eksperimen estetik harus secara stastistik, namun dengan
penelitihan isi pun tidak keliru. Hanya saja penelitihan isi itu perlu
diujicobakan pada komunitas baca. Kesesuaian sastra dengan komunitas tak kalah
menarik. Jika para buruh yang dijadikan informan ataupun responden, tentu
sastra yang di ambil harus sejalan dengannya.
2.5
Tipologi Psikis Pembaca
1.
Kejiwaan Pembaca Sastra Anak
Yang
di maksud pembaca sastra anak adalah anak itu sendiri. Meskipun orang remaja
dan dewasa bisa membacanya, pembaca sastra anak dalam konteks ini lebih khusus.
Anak-anak kita memang juga tidak membaca sastra anak saja. Jika dicermati,
kejiwaan anak menghadapi bacaan memang jauh lebih berbeda dengan orang dewasa
dan dan remaja. Hobi dan segmen bacaan anak juga bisa berlainan sama sekali.
Bacaan yang di benci orang dewasa, mungkin di gemari anak.
Nurgiyantoro
(2005:35-41) memberikan beberapa kontribusi sastra anak bagi anak. Kontribusi
ini tentu terkait pula dengan kejiwaan anak. Menurut dia, sastra anak diyakini
memiliki kontribusi yang besar bagi perkembangan kepribadian anak dalam proses
menuju ke kedewasaan sebagai manusia yang mempunyai jati diri yang jelas.
Nyanyi-nyanyian yang biasa didendangkan seorang ibu untuk membujuk agar si buah
hati segera tertidur atau sekedar untuk menyenangkan, pada hakikatnya juga
bernilai kesastraan dan sekaligus mengandung nilai yang besar andilnya bagi
perkembanga kejiwaan anak, misalnya nilai kasih sayang dan keindahan.. dalam
konteks semacam ini, sebenarnya anak sebagai penikmat, mungkin juga sebagai
pembaca. Mereka umumnya memiliki tipe khas, yaitu ingin berfantasi,
beriang-riang, dan hendak mencari figur. Katakan saja jika diberi bacaan atau
dongeng kecil, anak tentu akan tergelitik kejiwaannya.
Jika
demikian, berarti konstribusi sastra anak bagi pendengar dan pembaca yang masih
anak-anak dapat memupuk pertumbuhan berbagai pengalaman
(rasa,emosi,bahasa),personal (kognitif,sosial,etis, spiritual) eksplorasi dan
penemuan, namun juga petualangan dalam kenikmatan. Hal ini dapat dinyatakan
nahwa anak akan berjiwa petualang/ itulah sebabnya ketika berhadapan dengan
bacaan, yang di gemari tentu yang memuat masalah petualangan maupun hero.
Karya
demikian akan menyentuh rohani anak. Jiwa anak semakin subur, kian berkembang
dengan bacaan yang menantang. Dari berbagai fungsi yang di tawarkan
Nurgiyantono (2005), yaitu fungsi emosional, intelektual, dan imajinasi,
kiranya yang paling dekat dengan gagasan psikologi pembaca adalah masalah emosi
dan imajinasi. Jika anak tersebut sudah mampu melahap bacaan yang dia sukai,
misalnya cerita rakyat Asal-Usul Kota Gudeg, Asal-Usul Sleman, Asal-Usul Kali
Urang, dan sebagainya. Rasa bahagia dan gembira ketika memahami tokoh dan
asal-usul tempat yang pernah dia kunjungi. Emosi gembira yang diperoleh anak
tersebut penting karena hal itu juga akan merangsang kesadaran bahwa ia
dicintai diperhatikan. Pertumbuhan kepribadian anak tidak akan berlangsung
secara wajar tanpa cinta dan kasih sayang oleh orang disekelilingnya.
Contoh-contoh
cerita akan bertingkah laku baik secara verbal maupun nonverbal yang
menunjukkan sikap emosionalnya, seperti ekspresi gembira, sedih, takut,
terharu, simpati, dan empati, benci dan dendam, memaafkan, dan lain-lain,
secara kontekstual sesuai dengan alur cerita. Tokoh pratagonis akan menampilkan
tingkah laku yang baik, sebaliknya toko antagonis akan menampilkan tingkah laku
yang kurang baik. Pembaca anak akan mengidentifikasikan dirinya kepada tokoh
pratagonis sehingga sikap dan tingkah lakunya. Tokoh wayang Gatotkaca mungkin
disukai atas keperkasaannya oleh anak laki-laki. Tokoh srikandi dalam wayang,
bisa jadi menjadi kesayangan anak perempuan. biasanya, ketika mendengar,
menonton, dan membaca, anak akan menganalogikan dirinya dengan tokoh. Tokoh
tersebut dianggap akan mewarnai kepribadiannya.
Dengan
demikian, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan membaca buku-buku
cerita itu anak akan belajar bersikap dan bertingkah laku secara benar. Lewat
bacaan cerita itu anak akan belajar bagaimana mengelola emosinya agar tidak
merugikan diri sendiri dan orang lain. Kemampuan seseorang mengelola emosi
istilah yang di pakai adalah Emotional
quotient (EQ) yang analog Intelliegence Quotient (IQ) juga Spiritual Quotient
(SQ) dewasa ini dipandang sebagai aspek personalitas yang besar pengaruhnya
bagi kesuksesan hidup, bahkan diyakini lebih berperan daripada IQ.
Memang
benar, ketika anaka membaca sastra sebenarnya terjadi proses psikologis. Dna
dirinya ada “dialog” kejiawaan dengan tokoh, lingkungan, dan stilistika sastra
itu. dengan kata lain, ketika anak berhadapan dengan sastra, baik itu yang
berwujud suara maupun tulisan, sebenarnya kita lebih berurusan dengan masalah
imajinasi, sesuatu yang abstrak yang berada didalam jiwa, sedang secara fisik
sebenarnya tidak terlalu berarti. Bagi anak usia dini yang belum dapat membaca
dan hanya dapat memahami sastra lewat orang lain, cara penyampaiannya masih
amat berpengaruh sebagaimana halnya orang dewasa mengapresiasi poetry reading atau deklamasi. Sastra yang notabene adalah
karya mengandalkan kekuatan imajinasi, menawarkan petualangan imajinasi yang
luar biasas kepada anak. Denggan membaca bacaan cerita sastra, imajinasi anak
dibawa berpetualang ke berbagai penjuru dunia. Lewat cerita All anak akan
memperoleh pengalaman yang luar biasa (vicarious
experience) yang setengahnya mustahil
diperoleh dengan cara-cara selain membaca sastra.
Ketika
anak berhadapan dengan cerita, seperti Bawang
Merah Bawang Putih, Cinderella, atau Harry Potter, rasa-rasanya seperti
diajak berpetualang meninggalkan pijakannya dibumi. Imajinasi anak ikut
berkembang sejalan dengan larutnya seluruh kedirian pada cerita yang sedang
dinikmati. Ia akan segera melihat dunia dengan sudut pandang yang baru, dengan
sedikit perubahan akibat pengalaman yang di perolehnya. Daya imajinasi
berkolerasi secara seginifikan dengan daya cipta. Berikut campur tangan
imajinasi pula karya-karya besar bahkan teori besar, bermunculan di hadapan
kita.
Atas
dasar gagasan demikian, berarti aspek psikologis terpenting pada pembaca anak
yang perlu dilacak adalah emosi dan imajinasi. Emosi akan menuntun beberapa
jauh rasa yang tumbuh dalam diri anak. Mungkin mereka ada teman berdialog
mungkin pula rasa solidaritas dan personalnya semakin arif. Seluruhnya
tergantung karya sastra yang membentuknya. Eksperimen sastra pada anak, pada
gilirannya perlu dilakukan. Penjajakan keinginan dan perasaan anak akan
terlihat pada bacaannya.
2.
Tipologi Psikis Pembaca Remaja
Pembaca
juga raja. Dia berhak membuat merah hijau karya. Kebebasan imajinasi sering tak
terkontrol. Akibatnya, sastra kadang-kadang lebih indah dari aslinya ketika
disantap pembaca. Yang harus dicermati psikologi pembaca adalah ada berbagai
tipe pembaca. Tipe-tipe itu memerlukan penelitian khas. Pembaca kritis dengan
pembaca lugas tentu berbeda reaksinya. Pembaca yang kalut dengan yang riang
gembira, juga berbeda. Tupe-tipe dapat dikenai eksperimen hingga menghasilkan
keteguhan yang memadai.
Remaja
mungkin gemar pada hal-hal cinta dalam sastra. Cinta adalah ihwal universal
psikis manusia. Maka, kalau pembaca remaja mendambakan cinta dan seks, itu
sah-sah saja. Golongan pembaca dari sisi umur memang sering berbeda inisiatif
dan minatnya. Pembaca remaja, biasanya berbeda dengan pembaca dewasa. Hal ini
dapat dilihat pada penelitian James R squire (segers,2002:77-82) melakukan
sesuatu eksperimen dengan menggunakan empat buah cerpen yang dibaca oleh 52
siswa yang berusia rata-rata 15 tahun. Cerpen-cerpen tersebut bertemakan suatu
hal yang umum, yakni perkembangan personal. Respon mereka memberikan tanggapan
lisan berkenan dengan masing-masing cerpen, berdasarkan atas enam segmen cerita
yang sama bagi setiap responden. Dengan menggunakan analisis isi, dimungkinkan
menyusun tuju kategori reaksi, yaitu putusan nilai, reaksi intrepretasi :
Reaksi negatif, asosiasi psikologis, reaksi yang menyangkut keterlibatan,
reaksi preskriptif, akhirnya tentang suatu ketagori yang lepas termasuk
keanekaragaman reaksi. Hasil terpenting penelitian itu adalah perbedaan jenis
kelamin umumnya tampak bukan merupakan faktor penentu dalam kaitannya dengan
perbedaan reaksi. Ada korelasi yang jelas antara keterlibatan pembaca dalam
cerita dengan rekognisi nilai sastrawi cerita itu. hanya ada sejumlah kecil
reaksi asosiatif yang menunjukkan bahwa bagi pandangan squir, hanya ada sedikit
siswa yang menghubungkan cerpen yang di baca secara eksplisit dengan kehidupan
mereka sendiri; ukuran inteliger dan pengalaman membaca tidak dapat untuk
meramalkan atau memprediksi kualitas interpretasi-interpretasi individual
terhadap cerita.
Meskipun
squire tidak eksplisit menyebut pembaca remaja, namun dari tampilan yang di
paparkan adalah meneliti tanggapan pembaca usia remaja. Selanjutnya,
dikemukakan hasil penelitian terhadap cerpen demikian sebenarnya cukup bagus.
Hal itu juga dapat diterapkan pada sastra di indonesia. Persoalannya,
responsibilitas seseorang terhadap sastra ada kalanya juga amat ditentukan oleh
stimulus. Jika karya yang di baca benar-benar sesuai dan merangsang pembaca,
secara otomatis akan terjadi interaksi estetis. Karya-karya cerpenis Soim
Anwar, Triyanto Triwikromo, Bonari Nabonenar, dan sebagainya yang berkisah
mantan Presiden Soeharto barangkali cukup representatif bagi responden mana pun. Apalagi Soeharto
sebagai figur penting selama 32 tahun, hingga kesan pembaca akan lebih
interaktif. Cerpen-cerpen simbolik tersebut tentu lebih cocok diperuntukkan
bagi pembaca yang memiliki intelektual lebih. Dalam konteks ini, mahasiswa
sastra yang gemar bermain simbol dapat dijadikan responden.
Sarjana
Swedia, Gunnar Hansson, memiliki konsepsi yang menarik tentang status teks
sastra dalam disertasinya (1959) Dikten
och Lasaren, reaksi-reaksi siswa SMU diteliti. Di sini kita tertarik tidak
hanya pada deskripsi reaksi-reaksi tersebut, tetapi pada sebuah penjelasan
ringkas konsepsi Hansson tentang istilah “teks sastra” (yang dibatasinya pada
puisi). Hansson mendekati konsep puisi dalam suatu cara psikolinguistik. Hal
itu mengimplikasikan bahwa sabuah kata berfungsi sebagai stimulus yang dipakai
sebagai landasan pembentukan gagasan dan reaksi-reaksi yang terjadi. Jadi,
Hannson melihat puisi sebagai medium antara pengarang dan pembaca. Pembaca
menerima puisi sebagai seperangkat stimulus yang dia interpretasi dan evaluasi
berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya.
Pengalaman
membaca cerpen adalah modal utama pembaca. Psikologi pembaca akan di bangun
oleh keseringan membaca cerpen. Pembaca yang sudah terbiasa membaca cepren,
mungkin tidak ingin mencermati kalimat perkalimat. Mereka merekam esensi dan
keindahan menurut persepsinya. Akibatnya, ada sebuah karya sama ketika jatuh
pada pembaca yang beda, reaksi boleh sama dan beda. Dalam kaitan ini, menarik
dicermati gagasan Hnnson yang membedakan dua aspek puisi yang berbeda, yakni
puisi pengarang dna puisi pembaca. Puisi pengarang merupakan sebuah rekontruksi
proses kreatif (asal-mula, motivasi, tujuan, dan pikiran-pikiran) tentang suatu
puisi. Pengarang mungkin memaparkan keanekaragaman detail-detail proses kreatif
dalm pembicaraan, surat,atau komentar yang bersifat personal. Puisi pembaca
merupakan sebuah kontruksi arti (pikiran-pikiran, atau gagasan-gagasan) suatu
puisi yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman selama proses pembacaan.
Proses kreatif terkait dengan bagaimana psikologi pengarang diekspresikan
secara estetis, pembacaan merupakan refleksi kritis dan psikologis terhadap
proses kreasi.
Dalam
disertainya Student Response to Narrative
Teachniques in Fiction (1972). Elizabeth Nicol bermaksud menentukan
reaksi-reaksi siswa SW terhadap Narrative Techniques dalam cerpen. Permasalahan
yang dituju adalah aspek-aspek teknik naratif yang mana, yang menjadi perhatian
siswa? Jika siswa-siswa dihadapkan pada gaya-gaya yang berbeda dalm cerpen,
apakah mereka memperhatikan kualitas teknik yang membuat keanekaragaman cerpen
menjadi karya seni? Atau, apakah siswa-siswa memberikan reaksi dengan landasan
seperangkat ciri sastra yang sama, tanpa bergantung pada kualitas-kualitas
khusus teks yang berbeda? Berbagai pertanyaan ini telah masuk lebih jauh pada
aspek sastra. Hanya siswa yang belajar sastra secara serius barangkali yang
akan mampu menjawab secara detail. Pertanyaan demikian tentu saja perlu
diselaraskan lagi dengan sasaran psikologis agar tidak tergoda pada hal-hal
teknis.
Ternyata,
dari responden yang berjumlah 150 siswa SW, setiap orang membaca dua cerpen dan
kemudian mengisi kuesioner yang diprecoded.
Untuk melengkapi metode yang resmi itu diadakan pula wawancara yang tidak
terstruktur. Salah satu hasilnya adalah interview hampir tidak membuahkan hasil
yang berguna. Ini penting bagi penelitian kita. Preferensi seharusnya diberikan
pada kuesioner yang formal, yakni kuesioner tersebut memberi responden suatu
instrumen sehingga mereka dapat menyelidiki sebuah teks sastra secara lebih
objektif dan lengkap. Hasil penting pengamatan Nicol lainnya ialah
siswa-siswa SMU mampu memberikan reaksi
dengan berdasarkan aspek teknik teks-teks sastra. Akhirnya, dia menyimpulka
bahwa respon sastra yang dikenali dan diungkapkan seorang pembaca hanyalah
bagian dari keseluruhannya, respon private pada suatu objek sastra. Akan
tetapi, bagian tersebut merupakan semua yang kita miliki sebagai bukti bagi
keberhasilan atau kegagalan dalam mengangkat respon-respons sastra para siswa.
Kondisi semacam ini sekaligus sebagai upaya menangkap sejuah mana responden
tahu sastra. Penguasan sastra pembaca awam dengan siswa bisa saja berbeda.
Orang yang akademik tentu berbeda tipe bacaannya.
Sebuah
studi yang dilakukan oleh Rechard Beach dan Alan C. Purves (19720 memberikan
suatu survei yang ekstensif tentang semua penelitian yang berkiatan dengan
psikologi sastra sehingga tahun1972. Publikasi-publikasi dalam bidang psikologi
sastra di bagi oleh Beach dan Purves menjadi tiga kelompok. Pertama,
studi-studi yang dibicarakan ialah studi yang merajuk pada reaksi-reaksi yang
di berikan oleh pembaca dalam kaitannya dengan teks sastra. Pengarang menekankan
bahwa studi-studi (...) cenderung mendukung teori kritik transaksional yang
disusukn oleh Rosenbaltt, yeng menggambarkan
formulasi transaksional dewey dan Bentley bagi ilmu-ilmu alam. Teori ini
menyatakan bahwa ada sebuah teks dan seorang pembaca individual, dan transaksi
antara mereka berdua menghasilkan sebuah sajak (Beach dan Purves, (1972;35).
Kelompok kedua terdiri atas publikasi-publikasi mengenai metodologi pedagogik
pengajaran sastra.
Terakhir,
sangat layak untuk disebutkan adalah Georg Lubbers (1972 dan 1973), yang
mencoba untuk membuat model Hannson (1964) lebih aplikabel bagi pengajaran
sastra di SMU. Pertama-tama, Lubers mengajarkan skala bipolar (sebagai contoh,
simpati tidak simpati; menggembirakan-membosankan) dalam suatu kuesioner yang
di berikan pada siswa-siswanya. Ia percaya bahwa skala merupakan instrumen
didaktik yang penting, yang dapat mengukur pengalaman membaca siswa. Hasil
skala diterjemahkan dalam kata-kata dan dipergunakan sebagai bahan diskusi di
dalam kelas. Dalam fase penelitian berikutnya, Lubbers mengubah dari bipolar
menjadi skala unipolar karena ia yakin behwa ciri-ciri yang berlawanan (kutub
yang berlawanan pada skala bipolar) mungkin diterapkan pada teks yang sama.
Model
penelitian psikologis semacam itu sebenarnya relevan jika diterapkan di negara
kita, khususnya berkaitan dengan tindakan kelas. Penelitian yang berbasis kelas
akan mampu memperbaikiseluruh aspek pembelajaran sastra. Aplikasi penelitian demikian, bila dikembangakan
terus, sebenarnya akan menjawab aneka kritik, mengapa siswa kita kurang melek
sastra. Perilaku siswa akan menentukan betapa besar motivasainya pada sastra.
Setiap siswa sering memiliki kecenderungan yang berbeda dalam bersastra.
3.
Tipologi Psikis Pembaca Dewasa
Pembaca
dewasa, tentunya berlainan sama sekali dengan remaja. Orang dewasa telah matang
kejiwaannya. Tentu saja penguasaan kode-kode baca pun telah masak. Akibatnya,
pembaca dewasa sering memiliki tradisi estetis tersendiri. Hal ini dapat
terlihat dari paparan Segers yang mendasarkan pada penelitian beberapa ahli
lain. Menurut Segers, sering menjmpai bahwa reaksi estetis dari bermacam-macam
individu tampak memiliki kemiripan sampai tingkat-tingkat tertentu. Mereka
mendapatkan faktor-faktor yang signifikan secara stastik pada saat kelompok-kelompok
yang anggotanya terdiri atas lima belas orang yang umum. Hal itu terjadi tanpa
mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan antara reaksi-reaksi estetis sama-sama
pentingnya dengan kemiripan-kemiripannya. Berlynee (Sayuti, 200:78-82)
memberitahukan bahwa variasi individual dan kultural dalam cita rasa estetis
hampir tidak dapat diamati, tetapi pencarian prinsip-prinsip yang umum, yang di
terapkan setap orang merupakan pendahuluan atau perintisan yang penting untuk
meneliti atau menguji dan menghitung suatu rentang variasai. Variasi tanggapan
individu akan memperluas cakrawala sastra. Proses pembedaan ini juga menarik
disimak untuk memahami pluralitas.
Dalam
buku Dikti profil (1964), Hansson
meneliti puisi Endymion karya penyai
Swedia, Erik Johan Stagnelius (1793-1823). Tiga orang kritikus Swedia yang
penting telah memberikan interpretasi yang berbeda-beda terhadap puisi
tersebut, yang oleh Hansson di pertimbangkan sebagai hipotesis-hipotesis
penelitiannya. Ia mencoba menunjukan dengan sarana skala bipolar untuk
mengetahui seberapa jauh proposisi-proposisi kritikus yang didukung oleh
putusan-putusan tiga kelompok pembaca. Tiga kelompok pembaca disusun secara
berbeda berdasarkan reading habits ‘kebiasaan membaca’, cultural
‘budaya’, dan intellectual education ‘pendidikan intelektual’ tiga
kelompok pembaca tersebut adalah profesor dan guru sastra, mahasiswa tingkat I,
dan guru-guru sekolah teknik tanpa pendidikan tinggi. Salah satu hasil yang
mengejutkan ialah kenyataan bahwa tidak ada perbedaan interpretatif yang jelas
diantara 3 kelompok yang diamati; semua kelompok membaca dalam suatu cara
“berpengalaman” yang sejajar. Penelitian Hansson tampaknya mendukung
hipotesisnya bahwa tipe reaksi adalah sama bagi keolmpok-kelompok dengan
tingkat pendidikan yang berbeda hasil ini tampaknya bertentangan dengan
simpulan puvers, yakni renspons terhadap sastra merupakan behavior yang dapat
dipelajari yang bergantung pada usia dan budaya.
Peta
psikologis pembaca demikian, sekaligus meneguhkan tipe-tipe konteks pembaca.
Pembaca akan di pengaruhi oleh kode-kode dan pengalaman psikologisnya. Itulah
sebabnya ketika peneliti harus menyusun pertanyaan perlu memerhatikan kode-kode
dan tipe pembaca. Eberhard frey (1970), pernah mengkaji pembaca denga 55
responden, kebanyakan mahasiswa universitas, menerima sebuah koleksi fragmen
mengenai satu subjek : cuaca dan udara. Responden diminta menjawab tiga
pertanyaan, (1) Fragmen manakah yang menurut anda daya tariknya paling besar
dan fragmen manakah yang paling kecil? (2) berilah nilai pada setiap fragmen
(rentang nilai 1-10) dan tandai atau komentari setiap fragmen dengan sejumlah
kata (misalnya membosankan, membingungkan, dan sentimental), dan (3) garis
bawahilah setiap ciri stalitik, setiap kontruksi gramatikal yang menarik atau mengejutkan
anda baik bersifat positif atau negatif. Hasil terpenting penelitian ini adalah
bahwa responden mereaksi secara asal saja terhadap ciri-ciri stilistik yang
sama, sehingga kesepakatan yang penuh tidak tercapai (lihat juga Frey, 1972 dan
1974). Pertanyaan terbuka dan tertutup memang signifikan untuk mengungkap
reaksi pembaca. Hal ini perlu dipertimbankan agar tercipta reaksi yang
benar-benar sahih.
Atas
dasar temuan berbagai aplikasi eksperimental estetis diatas, dapat dikemukakan
sebenarnya sastra itu secara psikologis memiliki daya tertentu. Sastra tetap
berfungsi mengubah sesuatu, sekecil apapun. Namun, dalam proses pembacaan, juga
amat di tentukan oleh tipologi pembaca. Pembaca yang menguasai kode-kode, tentu
berbeda dengan pembaca awam. Pendek kata, psikologi pembaca adalah kondisi yang
sifatnya tempramental. Pembaca dapat membentuk dan di bentuk oleh sastra.
Pembaca
dewasa relatif lebih mapan psikisnya. Banyak pilihan pun mereka lakukan dalam
menentukan bacaan. Karena keseimbangan emosi stabil, tentu daya kekuatan psikis
sastra ada perbedaan dibanding pembaca remaja dan anak. Motivasi dan minat baca
orang dewasa juga perlu dilacak. Ada pembaca yang sekedar bersenang-senang, ada
yang ingin meneliti, dan yang bermotif ekonomi, politik, budaya, dan seterusnya.
Seluruh hal tersebut dicermati aspek psikologinya sehingga ditemukan makna yang
segnifikan. Pembaca juga raja. Dia berhak membuat merah hijau karya. Kebebasan
imajinasi sering tak terkontrol. Akibatnya, sastra kadang-kadang lebih indah
dari aslinya ketika disantap pembaca. Yang harus dicermati psikologi pembaca
adalah ada berbagai tipe pembaca. Tipe-tipe itu memerlukan penelitian khas.
Pembaca kritis dengan pembaca lugas tentu berbeda reaksinya. Pembaca yang kalut
dengan yang riang gembira, juga berbeda. Tupe-tipe dapat dikenai eksperimen
hingga menghasilkan keteguhan yang memadai.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengertian psikologi pemmbaca adalah salah satu
jenis kajian psikologi sastra yang memfokuskan pada pembaca, yang ketika
membaca dan menginterpretasikan karya sastra mengalami berbagai situasi
kejiwaan. Yang menjadi objek kajian dalam psikologi pembaca adalah pembaca yang
secara nyata membaca, menghayati, dan menginterpretasikan karya.
Resepsi
pembaca secara psikologis pasti akan terjadi, dibandingkan resepsi yang lain.
Penerimaan nilai sastra biasanya justru berasal dari aspek psikologis. Dengan
modal kejiwaan, karya sastra akan meresap secara halus dalam diri pembaca. Oleh
sebab itu pembaca yang bagus tentu mampu meneladani aspek-aspek penting dalam
sastra. Nilai-nilai dalam sastra yang mampu membentuk sikap dan perilaku, akan
diinternalisasikan dalam diri pembaca.
Pembaca
akan bereaksi setelah besentuhan dengan sastra. Setelah membaca, psikisnya
telah terpenuhi berbagai butir reaksi. Reaksi bisa ke arah kontruktif dan
destruktif. Tegasnya, pada saat reaksi itu dilakukan, evaluasi teks akan
terjadi. Evaluasi subjektif maupun objektif bisa dilakukan. Semua tergantung
daya rangsang psikis dalam teks sastra.
Yang
di maksud pembaca sastra anak adalah anak itu sendiri. Meskipun orang remaja
dan dewasa bisa membacanya, pembaca sastra anak dalam konteks ini lebih khusus.
Anak-anak kita memang juga tidak membaca sastra anak saja. Jika dicermati,
kejiwaan anak menghadapi bacaan memang jauh lebih berbeda dengan orang dewasa
dan dan remaja. Hobi dan segmen bacaan anak juga bisa berlainan sama sekali.
Bacaan yang di benci orang dewasa, mungkin di gemari anak. Pembaca dewasa,
tentunya berlainan sama sekali dengan remaja. Orang dewasa telah matang
kejiwaannya. Tentu saja penguasaan kode-kode baca pun telah masak. Akibatnya,
pembaca dewasa sering memiliki tradisi estetis tersendiri. Hal ini dapat
terlihat dari paparan Segers yang mendasarkan pada penelitian beberapa ahli
lain. Menurut Segers, sering menjmpai bahwa reaksi estetis dari bermacam-macam
individu tampak memiliki kemiripan sampai tingkat-tingkat tertentu. Mereka
mendapatkan faktor-faktor yang signifikan secara stastik pada saat
kelompok-kelompok yang anggotanya terdiri atas lima belas orang yang umum. Hal
itu terjadi tanpa mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan antara reaksi-reaksi
estetis sama-sama pentingnya dengan kemiripan-kemiripannya. Berlynee (Sayuti,
200:78-82) memberitahukan bahwa variasi individual dan kultural dalam cita rasa
estetis hampir tidak dapat diamati, tetapi pencarian prinsip-prinsip yang umum,
yang di terapkan setap orang merupakan pendahuluan atau perintisan yang penting
untuk meneliti atau menguji dan menghitung suatu rentang variasai. Variasi
tanggapan individu akan memperluas cakrawala sastra. Proses pembedaan ini juga
menarik disimak untuk memahami pluralitas.
3.2 Saran
1. Mahasiswa
Dengan mengetahui tentang Psikologi pembaca dalam Psikologi sastra, Penulis
harapkan kepada mahasiswa hendaknya agar dapat menggunakan ilmu yang di dapat
dari makalah ini dengan sebaik-baiknya terutama dalam mengajarkan serta
mengaplikasikan pada siswa-siswinya nanti pada saat menjadi seorang guru.
2. Penulis
Dengan makalah ini penulis hendaknya dapat
mengaplikasikan pembahasan makalah ini dengan sebaik-baikya. agar ilmu-ilmu
yang didapat dalam penulisan makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi
dirinya maupun orang lain, amiin.
DAFTAR
PUSTAKA
Abrams, M.H.
1981. The Glosarium of Literary Term. New York: Holt, Rinehart and
Wiston.
Ali, Lukman.
Ed. 1978. Tentang Kritik Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
Anwar,
Chairil. 2006. Aku Ini Binatang Jalang: Koleksi Sajak 1942-1949.
Pamusuk Eneste dan Sapardi Djoko Damono, ed. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Asya,
Lukman. 2007. Wacana: Sastra, Seks dan Moralitas Anak Bangsa, dalam
Republika, Minggu, 16 September 2007.
Ayu, Djenar
Maesa. 2002. Mereka Bilang Saya Monyet. Jakarta: Gramedia.
Ayu, Djenar
Maesa. 2005. Nayla. Jakarta: Gramedia.
Bertens, K.
Editor dan penerjemah. 2006. Sigmund Freud, Berkenalan dengan Psikoanalisis.
Jakarta: Gramedia.
Budiman,
Arief. 2007. Chairil Anwar Sebuah Pertemuan. Tegal: Wacana Bangsa.
Chamamah dan
Soeratno.1994.Penelitian Sastra: Tinjauan tentang Teori dan Metode Sebuah
Pengantar, dalam Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Masyarakat Poetika
Indonesia, IKIP Muhammadiyah Yogyakarta.
Darma, Budi.
1996. Ny. Talis. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Eneste,
Pamusuk. Ed. 2009. Proses Kreatif. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Freud,
Sigmund, dalam Berten, K. 2006. Editor dan penerjemah. Psikoanalisis Sigmund
Freud. Jakarta: Gramedia.
Hadi W.M.,
Abdul. 1982. Meditasi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hamzah,
Amir. 1986. Padamu Jua, dalam H.B. Jassin, ed. Amir Hamzah: Raja Penyair
Pujangga Baru. Jakarta: Gunung Agung.
Komentar
Posting Komentar